WASHINGTON — Marzieh Hashemi, seorang warga negara AS Serikat (AS) asal Iran dibebaskan dari penjara Federal setelah ditahan selama 10 hari sejak 13 Januari 2019 lalu.
Menurut dokumen yang dibuka oleh Departemen Kehakiman pada Jumat (18/1/2019), Hashemi yang merupakan seorang jurnalis TV Iran, ditangkap di bandara St Louis dan ditahan sebagai saksi materi dalam proses pidana yang tidak ditentukan.
Penahanannya memicu kekhawatiran tentang potensi masalah amandemen pertama terkait penahanan seorang jurnalis, serta masalah kebebasan beragama ketika Hashemi, seorang Muslim, dilaporkan tidak diberikan makanan halal dan jilbabnya secara paksa dilucuti.
“Marzieh dan keluarganya tidak akan membiarkan ini disembunyikan dari publik,” kata keluarga Hashemi dalam sebuah pernyataan tak lama setelah pembebasannya seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (24/1/2019).
BACA JUGA: Iran Ancam Perkaya Uranium untuk Program Nuklirnya
Mereka masih memiliki keluhan serius dan menginginkan jaminan bahwa ini tidak akan terjadi pada Muslim mana pun atau orang lain selamanya.
“Sama seperti Amerika menyadari pelecehan komunitas kulit hitam oleh polisi, Amerika perlu mulai berbicara tentang pelecehan komunitas Muslim oleh FBI,” demikian bunyi pernyataan itu.
Hashemi tidak didakwa atas kejahatan apa pun tapi dia muncul di hadapan dewan juri federal setidaknya tiga kali.
Undang-undang AS memang mengizinkan pemerintah untuk menangkap dan menahan apa yang disebut “saksi materi” jika hakim setuju bahwa individu tersebut memiliki informasi yang penting bagi proses pidana dan dapat melarikan diri jika hanya dipanggil untuk hadir di pengadilan.
Namun, Departemen kehakiman tidak menjawab pertanyaan tentang sifat dari proses pidana atau mengapa perlu langkah menahan Hashemi untuk mendapatkan kesaksiannya. Mungkin karena fakta bahwa dia sering bepergian dan tinggal paruh waktu di Iran.
Kantor berita Tasnim, Iran, melaporkan, pembebasan Hashemi memunculkan gelombang kemarahan besar di Teheran. Sebelumnya, para wartawan berkumpul pada Rabu (23/1/2019) untuk menyebut penahanan itu “ilegal” dan “pelanggaran hak asasi manusia”.
“Ini menunjukkan, pastinya, pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran hak domestik, pelanggaran kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Tidak ada keraguan tentang itu,” kata Seyed Mostafa Khoshcheshm, seorang analis politik di Teheran.
Komentar itu muncul bersamaan dengan pernyataan bersama dari tiga asosiasi jurnalis Iran yang mengutuk penahanan itu.
“Pemerintah AS perlu menjelaskan bagaimana Marzieh Hashemi – seorang jurnalis dan nenek – sedemikian berisiko penerbangan sehingga dia harus dipenjara sampai dia menyelesaikan kesaksiannya kepada dewan juri,” kata Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, dalam sebuah tweet pada hari Senin (21/1/2019) bertepatan dengan Hari Martin Luther King Jr di AS.
“50 tahun setelah pembunuhan MLK, AS masih melanggar hak-hak sipil pria dan wanita kulit hitam,” lanjutnya.
BACA JUGA: Nasser Al Attiyah, Juara Tiga Kali Dakar Relly dari Jazirah Arab
Penangkapan Hashemi dianggap menambah bara dalam hubungan ‘panas’ AS-Iran setelah mundurnya pemerintahan presiden Trump dari kesepakatan Nuklir Iran.
Hashemi lahir dengan nama Melanie Franklin di Louisiana dan mengubah namanya ketika dia masuk Islam setelah revolusi Iran. Menurut Press TV, dia tinggal di Iran selama lebih dari satu dekade dan berada di AS untuk mengunjungi anggota keluarga yang sakit. Hashemi juga mengerjakan film dokumenter tentang gerakan Black Lives Matter ketika berada di AS. []
SUMBER: THE GUARDIAN