Perjalanan setiap orang menuju Islam beraneka ragam caranya. Begitu juga dengan Jeffrey Lang. Profesor Matematika ini mendapat hidayah melalui perantaraan mahasiswa bimbingannya di kampus University of San Fransisco, AS. Dia sempat dihadiahi sebuah mushaf Alquran yang diakuinya sebagai kitab suci yang sangat mengagumkan. Satu hari, secara tak terduga dia menemukan sebuah ruangan kecil di lantai bawah sebuah gereja dekat kampus. Rupanya ruangan itu dipakai oleh para mahasiswanya yang Islam untuk shalat lima waktu. Nah, di ruangan kecil itu pula akhirnya dia bersyahadah. Berikut kisah lengkapnya.
UNTUK orang-orang yang telah memeluk Islam, Allah tak henti-hentinya, mengejar, mempertahankan, dan membimbing cinta dalam Qur’an-Nya. Seperti lautan luas dan megah, memikat Anda lebih dalam sampai Anda tenggelam ke dalamnya. Tapi bukannya tenggelam dalam lautan kegelapan, Anda menemukan diri Anda tenggelam dalam lautan cahaya ilahi dan rahmat.
Seperti ketika saya membaca Al-Qur’an dan berdoa, pintu hati saya membukanya dan saya tenggelam dalam kelembutan kelembutan yang luar biasa. Cinta menjadi lebih permanen dan nyata. Saya sangat senang telah menemukan iman dalam agama yang masuk akal.
Selama di Notre Dame Boys High, sebuah sekolah Katolik, saya diskusi dengan pendeta sekolah, orangtua, dan teman sekelas saya tidak bisa meyakinkan saya tentang keberadaan Tuhan. Akhirnya, saya berubah menjadi seorang ateis di usia delapan belas tahun. Selama sepuluh tahun saya menjadi ateis, hingga pada suatu hari saya bermimpi saya melakukan sujud bersama laki-laki dalam satu ruangan, saya bejejer dengan laki-laki tersebut. Dan di depan saya terdapat seseorang berjubah putih yang memimpin gerakan sujud kami. Setelah sujud kami duduk di atas tumit kami, saya merasakan ketenangan dan kedamaian pada saat melakukkannya.
Saya mengalami mimpi itu beberapa kali. Saya tidak akan terganggu oleh mimpi, namun saya merasa aneh saya merasakan kenyamanan ketika saya terbangun. Tapi saya tidak tahu apa itu.
Sepuluh tahun kemudian dalam ceramahnya pertama di Universitas San Francisco, saya bertemu seorang mahasiswa Muslim yang menghadiri kelas matematika. Saya segera mengembangkan persahabatan dengan dia dan keluarganya. Agama, bagaimanapun, bukanlah topik bersama dengan keluarga Muslim. Namun pada suatu waktu saya diberi salah satu salinan Al-Quran. Saya mulai membaca Al-Qur’an, tetapi dengan prasangka yang kuat.
Saya merasa apa yang saya alami berada dalam Al-Quran. Bagaimana bisa penulis Al-Quran mengetahui semuanya? batin saya bertanya-tanya. Namun anehnya Al-Quran selalu menjawab apa yang saya pertanyakan dengan sangat tepat.
Pada awal 80-an tidak banyak Muslim di kampus Universitas San Francisco. Saya menemukan sebuah tempat kecil di basement sebuah gereja di mana beberapa siswa Muslim berdoa. Setelah saya mengumpulkan keberanian untuk mengunjungi tempat tersebit, akhirnyasaya putuskan untuk mengunjungi tempat siswa Muslim beribadah itu. Ketika saya keluar dari tempat itu beberapa jam kemudian, saya sudah menyatakan syahadat, “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.”
Setelah saya bersyahadat, saya putuskan untuk mengikuti siswa muslim beribadah. Saya berada bersama siswa-siswa lainnya yang melakukan ibadah shalat yang di pimpin oleh imam. Kami sujud dengan wajah kami menempel di atas karpet merah-putih. Saya merasa tenang seolah-olah suara telah dimatikan. Dan kemudian kami duduk kembali di tumit kami.
Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan yang telah menjadi imam, ia pergi ke kiri saya di bawah jendela yang membanjiri ruangan dengan cahaya. Dia mengenakan gaun putih panjang dan di kepalanya adalah syal putih dengan desain merah.
Mimpi! Saya menjerit dalam hati. Ini persis seperti mimpi yang pernah saya alami! Saya sudah lupa sama sekali, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah saya bermimpi? saya bertanya-tanya. Apakah saya terbangun? Saya mencoba untuk fokus pada apa yang terjadi untuk menentukan apakah saya sedang tidur. Sebuah aliran dingin mengalir melalui tubuh saya, membuat saya bergidik. Ya Tuhan, ini nyata! Kemudian dingin mereda, digantikan oleh kehangatan lembut memancar dari dalam. Air mata menggenang di mata saya.
Perjalanan setiap orang Islam adalah unik, bervariasi dari satu sama lain dengan berbagai cara. Dari yang pernah menantang keberadaan Tuhan, saya menjadi sangat percaya pada Tuhan. Dari seorang prajurit yang berjuang pejuang sengit melawan Al-Qur’an, ia menjadi salah satu yang menyerah untuk itu. Dari satu yang tidak pernah tahu cinta dan yang hanya ingin hidup materialistis nyaman sampai ia meninggal.
Saya berubah menjadi salah satu yang hidupnya menjadi penuh cinta, kasih, dan spiritualisme. “Engkau akan berlutut di hadapan Tuhan, Jeffery!” kata ayah saya ketika saya membantah keberadaan Tuhan pada usia delapan belas tahun. Sepuluh tahun kemudian, itu menjadi kenyataan. Saya sekarang berlutut, dan dahi saya di tanah. Bagian tertinggi dari tubuh saya yang berisi semua pengetahuan dan kecerdasan sekarang di tanah terendah dalam pengakuan keagungan Allah. []