BANYAK pernikahan pada zaman sekarang yang mengalami perceraian atau kandas di tengah perjalanan. Begitu mudahnya, lisan ini untuk mengatakan perceraian. Padahal hal ini, sangat dibenci Allah SWT.
Lantas, hal apa saja yang dapat membatalkan pernikahan?
1. Jika si istri gila, menderita penyakit kusta atau sopak.
Hal ini seperti yang pernah dikatakan ‘Umar bin Khattab bahwa, “Siapa pun wanita yang menikah, sedang dirinya tidak waras atau mengidap penyakit kusta atau penyakit sopak dan suaminya baru mengetahui setelah berhubungan badan dengannya, maka maharnya tetap menjadi milik si istri atas hubungan badan yang dilakukan. Adapun wali dari istri harus memberikan mahar (yang serupa) kepada si suami sebagai ganti atas perbuatannya menipu dan membohonginya.”
BACA JUGA: Pernikahan-pernikahan Ini Dilarang Keras dalam Islam, Kenapa?
2. Jika telah berlangsung akad nikah baru diketahui bahwa wanita yang dinikahi itu ternyata saudara sepersusuan laki-laki yang menikahinya, maka pernikahannya tersebut menjadi batal karenannya.
3.Jika yang mengadakan akad nikah bagi calon pengantin masih di bawah umur (belum dewasa) dan bukan ayah atau kakeknya.
Akan tetapi telah dewasa, maka kedua belah pihak (suami istri) berhak untuk memilih meneruskan kehidupan perkawinannya maupun mengakhirinya dan inilah yang disebut dengan khiyarul bulugh.
4. Jika si suami masuk Islam sedangkan istrinya menolak dan tetap menjadi wanita musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu batal karenanya.
5. Jika si istri masuk Islam sedangkan suamiya menolak dan tetap menjadi laki-laki musyrik, maka akad nikah yang dilakukan pada saat itu batal karenanya.
6. Jika si suami murtad sedangkan istrinya masih tetap muslimah.
7. Jika si istri murtad sedangkan suaminya masih tetap muslim.
8. Jika si istri disetubuhi olah ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengaajaan maupun dengan maksud menzinahinya.
BACA JUGA: Suami Terkena Penyakit Menular, Bolehkah Minta Cerai?
9. Jika kedua belah pihak saling berli’an.
10. Jika keduanya sama-sama murtad.
11. Jika salah satu meninggal dunia. Di mana dalam hal ini tidak ada perbedaam pendapat. [].
Referensi: Fiqih Wanita/Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah/Pustaka Al-Kautsar/2012