Oleh: Wulan Darmanto
SEBENARNYA saya cukup jiper menulis ini. Sadar kapasitas. Ha wong saya saja jauh dari kata “dermawan”.
Dermawan di sini pakai tanda petik loh ya…
Jadi begini, pekan lalu saya mudik menengok orangtua. Seperti biasa, ajang mudik berarti berkumpul lagi dengan keluarga besar, kerabat, handai taulan, tetangga, sampai saudaranya tetangga. FYI, hidup di kampung itu, sepupunya tetangga hingga temannya sepupunya tetangga pun kita berpeluang kenal.
Saking eratnya hubungan kekerabatan di sana.
Nah… di kesempatan itu lah saya bertemu seorang kerabat, sebut saja bernama Kumbang. Saat bertemu kemarin, saya terus terang pangling. Ia tampak begitu lusuh kusut masai.
Seperti membaca keheranan saya, ada saudara mendekat dan berbisik.. “Pangling ya lihat kumbang?
Dia lagi ngedan kok sekarang..” (ngedan: gila dalam arti konotatif)
Saya semakin heran. Dan si saudara ini akhirnya menjelaskan mengapa perangai Kumbang kini begitu buruk. Doyan keluar malam, sampai minum-minuman keras. Padahal dulu ia adalah seorang ayah yang baik.
Menurut saudara ini, sampai ada rapat internal keluarga membahas perilaku Kumbang yang ganjil. Dan setelah diinterogasi, akhirnya Kumbang mengaku kalau ia menjadi “sinting” lantaran beban psikologis sekaligus biologis yang menghimpitnya.
“Dia tuh pusing cari uang. Anaknya minta macem-macem. Eee… udah pusing-pusing begitu, lhadalah.. istrinya kalo dimintain jatah ngga pernah ngasih..”
HHHHPPPPFFFFFF…
Mendengar saudara ini berbisik-bisik sedemikian rupa. Saya ingiiin sekali bilang, “Sumpe lo? Gara-gara masalah cemen gitu aja sampai merugikan diri sendiri?”
“Ngerti dewe to wong lanang.. Di otaknya isinya gituan mulu. Kalo nggak dikasih kan bisa buntet. Ora iso mikir. Jadinya ya kaya Kumbang gitu..” sambung si saudara. Sengit.
BLAHHHH
Apa iya cuma gara-gara nggak dapet jatah, laki-laki bisa nekad?
Apa iya, cuma gara-gara ditolak berhubungan intim, laki-laki bisa kejam?
Sayang sekali, jawabannya adalah iya.
Libido pria itu sangat kuat. Sehingga mereka membutuhkan seks untuk bertahan hidup. Ibaratnya sama seperti makan dan minum. Mengapa demikian? Karena mereka memiliki hormon seks bernama testosteron, yang konon berjumlah 20 kali lipat lebih banyak dibanding hormon seks wanita.
Jadi kalau ada suami yang gelisah, emosi labil, pikiran suntuk melulu, ide mentok, dan tidak semangat kerja, lalu dia menuduh seks adalah akar masalahnya, ini sangat sangat sangat teramat sangat masuk akal, sista.. #cry
Mungkin ini pula alasan mengapa Rasulullah sampai bersabda dalam salah satu hadist-nya, bahwa tidaklah seorang istri dapat menunaikan hak Allah SWT terhadapnya, hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (berhubungan suami istri) sementara ia sedang berada di atas pelana, maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).
Di hadist lain bahkan redaksionalnya lebih mengguncang nurani lagi: “Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, lalu sang istri menolak untuk datang, maka malaikat akan melaknatnya sampai pagi.”
Hiks… hiks…
Saya seperti melihat bayangan saya di depan cermin. Melakukan hal-hal yang mungkin pula dilakukan oleh istri si Kumbang. Menolak suaminya dengan 1001 alasan. Berlindung di balik kelelahan. Masih untung suami tidak ngedan.
Tapi tetap ya… sampai sekarang saya masih malas membahas rasa kasihan saya terhadap si Kumbang, kepada mister. Takut aja gitu, doi besar kepala, lalu semacam mendapat pembenaran yang selama ini dia nanti-nantikan. Lalu keluarlah kalimat pendek namun menyebalkan itu.
“NAAH..KAAAAN..MAKANYA!!”
Saya hanya diam-diam mikir, sekaligus kasihan. Kasihan juga ya para suami-suami ini. Kita menyebut mereka dengan “isi pikirannya cuma seks melulu” padahal secara biologis, kodrat mereka memang seperti itu.
Lalu bagaimana yang seharusnya kita lakukan, sis?
Secara ya… setelah bergulat dengan balita, gendongan jarik, jemuran, dan printil printil karir kita di dapur itu, kasur rasanya cuma menarik untuk tidur, bukan bertempur.
Sementara pihak sana, dengan dorongan biologisnya, melihat kasur dan kita yang tergolek di atasnya justru dipandang sebagai sarana pelepas penat. Laki-laki juga capek. Tapi aktivitas ini justru bagi mereka adalah “obat capek”. Berbeda sekali kan?
Karena ini adalah kewajiban, ya mari kita layani dengan baik. Mari menjadi istri yang “dermawan”.
Namun saya tetap pada prinsip: istri bukanlah budak seks. Lakukan dengan riang. Lakukan dengan bahagia. Tidak kering kerontang, tapi jangan pula overdosis semisal semalam tujuh kali tanpa peduli istri kelelahan bahkan kesakitan. (Astaghfirullah..oom..itu pendamping apa kuda lumping?)
Jangan menolak ajakannya meski pinggang rasanya patah. Ajak ia komunikasi, ajak ia berunding, bukankah akan lebih nyaman jika dilakukan saat pinggang tegak lurus? (Padahal bengkok melulu, HAHAHA).
Saya yakin, setinggi-tingginya libido pria, ia tetap punya cinta. Tetap bisa mengendalikan dirinya jika si istri memang benar-benar dalam keadaan tidak bisa diajak berkolaborasi.
Solusi lain.. pelajari, amati, lalu ajak ia diskusi untuk mencapai “penyelesaian terbaik” yang win win solution saat pinggang kita benar-benar sedang putus.
Seperti orang bijak pernah bilang:
“Jalan-jalan beli lengkuas
Banyak jalan menuju puas….” []
Tulisan ini diambil dari akun facebook Wulan Darmanto, dan sudah mendapat persetujuan untuk tayang di Islampos.