HEBOH berita pernikahan Alvin putra seorang ustadz masih teringat dalam benak kita. Lazimnya sebuah berita yang muncul di media sosial akan menuai komentar para netizen. Pada yang pro mungkin tak akan butuh penjelasan apa-apa tentang komentar positifnya. Namun pada komentar yang kontra, sangat beragam jenis alasan ketidaksetujuan pada kasus nikah muda.
‘Pesta meriah kayak gitu emang kagak pake duit bapaknya?’
Meskipun pesta tersebut dianggap sederhana bagi yang menjalankan dengan kondisi kebiasaan lingkungan mereka yang termasuk mampu, namun bagi sebagian orang tetap tampak ‘wah’.
Sebenarnya dalam kondisi menikah dengan usia dan ekonomi mapan pun, sudah hal lumrah di masyarakat kita bila orangtua pun ikut menanggung biaya.
Bagaimana sih sebenarnya peran orangtua dalam rumahtangga anaknya? Apakah orangtua seharusnya tidak ikut campur? Apakah memang anak harus benar-benar mandiri baru boleh menikah?
Menyangkut hal sebuah pernikahan, baik di awal ataupun dalam perjalanannya, akan banyak bentuk pertanyaan yang terbatas teori semata.
Sebanyak berapa persenkah pasangan yang benar-benar mandiri dalam memasuki gerbang pernikahan? Tak ada yang tahu jawabannya secara pasti. Bila secara teori pernikahan idealnya terjadi bila usia, ekonomi dan mental telah dianggap layak.
Kenyataannya yang terjadi, bilapun ada survey mengenai ini, kebahagiaan dan kelanggengan rumahtangga tak berpatok pada teori.
Peran orangtua untuk ikut campur–dalam arti positif–sangat dibutuhkan.
Ketika anak telah ingin menikah namun usia masih dianggap muda atau sudah dewasa namun ekonomi belum mapan, selayaknya orangtua ikut campur dengan melancarkan niat anak menikah karena Allah.
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭًﺍ ﻭَﻗُﻮﺩُﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺭَﺓُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺔٌ ﻏِﻠَﺎﻅٌ ﺷِﺪَﺍﺩٌ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﺼُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣَﺎ ﺃَﻣَﺮَﻫُﻢْ ﻭَﻳَﻔْﻌَﻠُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﻳُﺆْﻣَﺮُﻭﻥَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [QS. At-Tahrîm : 6]
Firman di atas juga berlaku ketika anak ingin menjauhi zina dengan menikah. Biasanya yang terjadi di masyarakat bukanlah ingin menikah ketika usia masih belia, namun sudah usia matang namun ekonomi masih belum mapan. Orangtua cenderung menuntut anak untuk mendapat jodoh yang telah mapan ekonominya. Meskipun ini adalah keinginan yang wajar, namun ketika tuntutan terlalu berlebihan dari kemampuan anak, yang terjadi justru anak tertunda terus untuk menikah. Efek yang ditakutkan ketika anak selalu dicegah untuk menikah lalu terjerumus pada zina maka orangtua pun ikut andil dalam dosa.
Seyogyanya bagi para orangtua untuk ikut memahami kondisi anak. Menikahkan mereka dengan landasan agama. Ikut campur dalam kelangsungan ekonomi mereka di awal nikah juga sebuah ibadah. Demikian pula sebaliknya pada anak, janganlah menjadikan bantuan orangtua untuk alasan berpangku tangan. Terlebih lagi bila anak sampai menjadikan orangtua layaknya pembantu yang mengurusi semua tanggung jawab rumahtangga. Na’udzubillahimindzalik. []
Kediri, 8 Dzulqoidah 1437H