MUDIK sebelum perayaan Lebaran sudah ‘mendarah daging’ bagi Muslim Indonesia. Rela merogoh kocek tak sedikit dan panas-panasan di tengah kemacetan panjang juga meninggalkan rumah. Apalagi bagi mereka yang mudik dengan kendaraan roda dua, mudik bukan hal sepele jika harus menempuh jarak hingga ratusan kilometer.
Semua rela dilakukan para pemudik demi melepas rindu kepada sanak keluarga yang sudah lama ditinggalkan. Mudik juga merupakan kesempatan dan ajang saling maaf-memaafkan berbagai kesalahan dan sarana memperkuat dan meneguhkan kembali rasa persaudaraan antar sesama, terutama di antara kerabat dan keluarga dekat.
BACA JUGA: Agar Mudik Selamat dan Berkah, Ini Doa dan Zikir Ketika dalam Perjalanan
Dengan mudik, dahaga kerinduan itu dapat terobati. Dengan mudik, ikatan kasih sayang, jalinan kekeluargaan yang mungkin pernah terputus, menjadi lebih mudah terjalin kembali bahkan lebih erat dan sakral daripada sebelumnya.
Maka tak mengherankan bila bagi sebagian besar dari kita, mudik Lebaran sudah menjadi semacam ritual dan kewajiban moral yang wajib ditunaikan. Jika tidak, maka akan serasa ada sesuatu yang kurang dalam merayakan momen kemenangan pasca Ramadan.
Selain itu, mungkin juga karena ada yang beranggapan bahwa dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia khususnya pada hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri, mudik menyimpan kekayaan makna dan kearifan lokal, di samping semata euforia kebahagiaan saat berkumpul kembali bersama keluarga dan sanak saudara.
Serasa ada dimensi spiritual, sosial budaya, dan moral di balik peristiwa itu dikarenakan efek resonansi dari mudik di waktu-waktu tertentu seperti bulan ini jauh lebih besar ketimbang hari-hari biasa lainnya.
Jadi apa yang perlu kita renungkan secara mendalam terkait makna mudik?
Pertama, mudik berarti kembali ke kampung halaman. Kampung halaman adalah tempat seseorang lahir dan dibesarkan. Di kampung halaman itulah watak dan karakter awal setiap dari kita dibentuk untuk menghadapi masa depan. Di tempat ini pula masing-masing dari kita paling potensial menyerap kearifan lokal yang mungkin bermanfaat bagi pergaulan dalam kehidupan sehari-hari kita jika suatu saat kita berada di perantauan.
Maka dengan mudik dan kembali ke tempat strategis ini, khususnya pada momen istimewa yang dianggap sakral, diharapkan dapat kembali menumbuhkan nilai-nilai kearifan lokal yang tak mustahil kadang layu dari kepribadian seseorang sebagai dampak pergaulan dan pergumulannya dalam waktu lama dengan budaya metropolitan.
BACA JUGA: Para Pemudik, Hati-hati di Beberapa Tanjakan ‘Misterus’ Ini
Kedua, kita juga dapat memetik hikmah lain terkait mudik, jika kita dapat ibaratkan seperti halnya mudik yang kita lakukan menjelang Lebaran, setiap manusia pun jika sudah sampai pada waktunya, tidak bisa tidak akan juga “mudik” dan “kembali” kepada Tuhan.
Dalam makna inilah, sebagaimana mudik biasa yang memerlukan bekal dan persiapan yang tak sedikit setidaknya sekali dalam setahun, maka “mudik” ke “kampung akhirat” untuk selamanya ini pun sudah barang tentu mesti dipersiapkan bahkan dengan lebih serius dan lebih matang. []
SUMBER: GANA ISLAMIKA