Oleh: Wulan Darmanto
TERSEBUTLAH seorang ibu, yang setelah melalui proses maju mundur yang panjang, akhirnya menceritakan sebuah rahasia besarnya pada saya: Bahwa anak yang ia kandung, sebenarnya bukan anak suaminya.
Dengan kegelisahan yang hebat, bolak balik ia memastikan perasaan saya:
“Ibu nggak apa-apa saya cerita begini?”
“Pasti penilaian ibu pada saya sekarang buruk sekali kan?”
Saya tercenung lama mengolah cerita demi cerita yang meluncur darinya. Di satu sisi ada rasa khawatir, mengingat anak si ibu adalah anak perempuan yang harus jelas nasabnya. Tapi di sisi lain, saya melihat cerita ini dari kacamata lain: Kacamata hitam, yang biasa dikenakan oleh istri-istri yang kesepian.
Bukan saya membenarkan perilakunya. Berbuat serong sampai membuahkan anak, tentu bukan perkara yang bisa disepelekan. Ibu ini akan menanggung beban berat dari perbuatannya hingga seumur hidup. Adakah beban yang lebih berat dari mengaburkan asal usul seorang manusia?
Namun saya mencoba berdiri di sepatunya. Berpijak pada kaki milik seorang istri yang selalu jauh dari suami (mereka menjalani LDM) ditambah suami tidak bisa memenuhi kebutuhan batinnya.
“Suami saya impoten. Jadi tidak mungkin memberi saya anak. Tujuan saya selingkuh cuma ingin mendapat anak, bu. Itu saja. Setelah saya hamil pun akhirnya saya putus sama dia. Saya benar-benar cuma ingin dapat anak…”
Namun prakteknya tentu bisa ditebak: manalah bisa “putus hubungan” dengan ayah kandung dari anaknya? Bisa dibayangkan berapa banyak lapisan demi lapisan rasa bersalah yang menggulung dada si ibu. Merasa bersalah pada suaminya, karena dia bohongi bertahun-tahun dengan kehadiran anak yang dikira adalah anak kandungnya sendiri; merasa bersalah pada si anak karena tidak jujur soal siapa ayah kandungnya sebenarnya; bersalah pada mertua; bersalah pada istri si selingkuhan; bersalah pada Tuhan..
Kini sesal sedalam apa pun, tetap tidak bisa membawa sang waktu kembali.
“Ibu, saya cuma pingin tobat. Saya beneran mau putus dari dia. Nggak kontak-kontak lagi. Saya cuma ingin jadi ibu yang baik untuk anak saya….”
****
Kita banyak menaruh perhatian lebih pada bahaya-nya suami-suami yang kesepian. Suami yang tidak terpenuhi nafkah batinnya karena istri terlalu sibuk dengan urusan domestik. Suami yang jelalatan matanya karena di rumah tidak pernah terhidang “sajian istimewa ala café”. Suami yang selingkuh dengan teman kantornya karena si istri dirasa nggak nyambung kalau ngobrol, tidak bisa mengakselerasi diri, mengimbangi karir suaminya yang melejit…
Dunia menganggap kaum istri aman dari rasa kesepian. Aman dari pintu perselingkuhan.
Padahal istri juga manusia biasa. Punya mata yang ingin dimanjakan. Punya mulut yang ingin didengarkan. Punya rambut yang ingin dibelai. Punya telinga yang ingin dibisiki. Punya hati yang ingin dikasihi…
Lelaki bisa berpaling hatinya, wanita pun bisa
Lelaki bisa tega terhadap pasangan sah-nya, wanita juga bisa
Lelaki bisa celup sana celup sini…
Wanita juga bisa.
Maka suami, jika kau merasa telah memberi dunia pada istrimu, dan dengannya kau merasa rumah tanggamu akan baik dan aman saja, jangan buru-buru GR dulu.
Seperti hal-nya hati yang mudah rapuh, jiwanya pun gampang diselimuti sepi. Jika waktumu tak banyak untuknya, lisanmu tak lembut baginya, amarahmu selalu kau tujukan padanya, jangan selalu merasa aman bahwa ia tidak akan kemana-mana.
Kita kini memasuki sebuah masa, dimana untuk mengundang setan masuk ke dalam rumah cuma tinggal melalui ketukan jari.
Hati-hati…..
Cinta bisa lari.
Kesetiaan bisa diakhiri []