“BAPAK saya meninggal dua tahun lalu, kecelakaan, motornya masuk lubang, jatuh terus kelindas truk waktu pulang jualan. Jadi sekarang saya yang gantiin bapak jualan biar ibu sama adik-adik bisa makan,” ujarnya sambil tersenyum. Tangannya menimbang wortel yang aku pilih.
“Terus gak sekolah?” tanyaku.
“Enggak Bu, saya harus jualan biar adik-adik saya bisa sekolah,” jawabnya.
“Terus masa depanmu sendiri gimana?” tanyaku lagi.
“Masa depan saya sudah dirancang Allah, Bu, saya terlahir sebagai anak laki-laki paling besar dan sudah baligh. Jadi saya bertanggung jawab sama ibu dan adik-adik saya. Saya gak takut masa depan saya, saya percaya Allah udah atur semuanya.”
Aku tercekat. Usianya sepantaran si sulungku. Dia berjualan sayur di pagi buta di pasar di kotaku. Dia sibuk melayani pembeli sementara anak anak lain seusianya sedang bersiap berangkat sekolah.
Tapi hidup menempanya hingga ia begitu tegar dan kuat. Dengan imannya, dia berjuang melawan kerasnya hidup.
Wajahnya bersih dan cerah terlihat semakin bersahaja dengan tampilan songkoknya. Lalu apa yang kutakuti dalam hidup jika anak semuda itu, tanpa bekal ilmu yang tersertifikasi diatas kertas dan tanpa bekal harta yang cukup, begitu yakin dengan qoda dan qodr hidupnya?
Berapa banyak dari kita yang berpendidikan tinggi, punya cukup harta hidup dalam ketakutan, mengkhawatirkan masa depan?
Jadi siapa sebenarnya yang berilmu?
Terima kasih pelajaranmu menantang masa depan, Nak…
Sungguh tidak ada yang perlu kita takuti selain takut memiliki lemahnya iman. []
DISCLAIMER: Tulisan ini secara ekslusif diberikan hak terbit kepada www.islampos.com. Semua jenis kopi tanpa izin akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kami mencantumkan pengumuman ini di rubrik Kolom Ernydar Irfan dikarenakan sudah banyak kejadian plagiarisme kolom ini di berbagai media sosial.