SETELAH menerima cahaya hidayah, kehidupan Sa’ad bin Abi Waqqash berubah. Hidupnya merasa damai dan tentram. Sayangnya sang ibu, Hamnah binti Sufyan bin Umayyah tak setuju dengan pilihan anaknya tersebut.
Di rumah, ketika Sa’ad tengah shalat ibunya bertanya, “Apakah gerangan yang engkau lakukan? Berhala manakah yang sedang engkau sembah?”
Sa’ad masih saja membisu dan tidak bereaksi apa-apa atas pertanyaan ibunya. Keadaan itu membuat Hamnah menjadi murka dan berang, lalu tergopoh-gopoh ia mendekati anaknya. Namun ia mendapati Sa’ad berpaling ke kanan dan ke kiri, kemudian segera menyambut kedatanganya dengan ceria.
“Aku baru saja shalat, wahai ibuku,” kata Sa’ad.
“Kepada siapakah engkau bersujud? Sesungguhnya Tuhan kita adalah Latta…”
“Aku shalat untuk Allah Tuhan Semesta Alam,” jawab Sa’ad pelan.
“Siapakah Tuhan Semesta Alam?”
“Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang menciptakan segala sesuatu. Dialah Pencipta langit dan bumi.”
“Apakah engkau shalat kepada Tuhan selain Latta, Uzza, Manaat, Habil serta tuhan-tuhan leluhurmu?”
“Mereka semua dalam kesesatan yang nyata, bagaimana mungkin mereka menyembah batu yang tidak memberi manafaat dan mudharat?”
Mendengar pengakuan anak kesayangannya ini, wajah Hamnah binti Sufyan merah padam.
“Wahai Sa’ad! kembalilah kepada akal sehatmu dan jangan membuatku marah. Sekali-kali jangan engkau mengikuti agama baru itu. Jika engkau mengikutinya, niscaya engkau akan termasuk orang-orang yang merugi,” ujar Hamnah.
“Semoga Tuhanku menunjukimu jalan yang lurus. Sungguh aku telah menyerahkan diriku kepada Allah, karena ini adalah agama yang benar, menyeru manusia menjalin kasih sayang, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta berbakti kepada kedua orang tua,” balas Sa’ad.
“Bukankah engkau mengatakan bahwa agamamu ini menyeru manusia untuk mempererat hubungan kekeluargaan serta berbakti kepada orang tua?”
“Benar.”
Dengan penuh kesungguhan Hamnah berkata, “Demi Tuhan Latta dan Uzza serta seluruh tuhan sembahan bangsa Arab, aku tidak akan makan dan minum hingga engaku kafir terhadap ajaran yang dibawa Muhammad lalu kembali menyembah tuhan-tuhan para leluhurmu.”
“Jangan lakukan itu wahai ibuku!”
“Hendaklah engkau meninggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga ajal menjemputku, lalu engkau dicela manusia karenanya!”
Namun dengan pendirian yang teguh, Sa’ad berkata, “Jangan lakukan itu, wahai ibuku. Sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini!”
Segala usaha Hamnah yang begitu berbakti kepada agama leluhurnya menemui kegagalan dalam mempengaruhi anaknya serta menghalang-halanginya dari jalan Allah.
Aksi mogok Hamnah berlangsung selama dua hari dua malam, sehingga tubuhnya lemas tidak berdaya. Kaum kerabat mulai mencela sikap Sa’ad dengan harapan Sa’ad mau kembali ke agama leluhurnya. Namun Sa’ad tidak bergeming sedikit pun.
Melihat sikap anaknya, Hamnah bertanya kepada anaknya, “Apakah engkau akan meninggalkan agama nenek moyangmu demi mengikuti penyair yang gila?”
“Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran.” (QS. Ash-Shaffat: 37).
Hamnah tersentak seraya berkata, “Kini engkau membacakan kitab Muhammad!”
“Bahkan ini adalah kitab yang diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, ia adalah cahaya yang berasal dari ilmu-Nya serta kekuatan yang berasal dari kekuatan-Nya.”
Ketika Hamnah mendekati ajalnya, sebagian kerabat menghadapkan Sa’ad kepada ibunya dengan harapan semoga Sa’ad jadi terenyuh setelah melihat kondisi ibunya.
Tapi ternyata keimanan Sa’ad lebih tinggi dari segala sesuatu.
“Demi Allah, andai ibu memiliki seratus nyawa, lalu nyawa itu keluar satu persatu, aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku karenanya. Terserah kepada ibu, mau makan atau tidak.”
Setelah Hamnah binti Sufyan menyadari keteguhan sikap anaknya terhadap agamanya, ia mengurungkan niatnya. Ia kemudian kembali makan dan minum.
Dan Allah Subhana Wa Ta’ala menurunkan ayat terkait keteguhan iman Sa’ad bin Abi Waqqas.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Sa’ad tetap memperlakukan ibunya dengan baik meskipun ibunya tetap bersikeras dengan agama leluhurnya.
Di hari fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) oleh pasukan Muslimin, Sa’ad bin Abi Waqqash turut ambil bagian bersama Rasulullah SAW dalam mengislamkan penduduk Makkah. Ia datang menggandeng ibunya untuk membai’at Rasulullah. Subhanallah. []