TAWAKAL sering disalahartikan sebagai sikap menyerah dan tak berdaya. Banyak orang menganggap tawakal adalah sikap pasrah, tanpa ada usaha dan kerja sama sekali. Ini sungguh keliru. Tawakal yang benar haruslah tercakup dua hal yakni penyandaran diri pada Allah dan melakukan usaha.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada Allah adalah termasuk keimanan,” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan sikap tawakal dengan burung yang bisa pulang dalam keadaan mendapatkan rezeki dikarenakan ia juga melakukan usaha keluar di pagi harinya, disertai hatinya bersandar pada Allah.
Al Munawi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan melakukan berbagai usaha yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah).
Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya, ”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang,” (QS. Al Anfaal: 60).
Juga firman-Nya, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah,” (QS. Al Jumu’ah: 10).
Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517). []
Sumber : https://rumaysho.com/