Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
zahraluvtheearth@gmail.com
“MAAF, bu, saya ga merasa iman saya bertambah saat ngaji dengan ibu”, begitu pernyataan seorang murid pada gurunya.
Karena alasan itu, akhirnya ia tak mau bergabung kajian dan lebih memilih mengikuti kajian fiqh asatidz ternama via youtube. Sebuah evaluasi besar bagi gurunya, tentu. Kenapa ia sampai tak merasa semakin dekat dengan Allah padahal yang dibahas adalah iman pada Allah?
Ah, mungkin contohnya kurang tepat untuknya. Bisa jadi bahasa penyampaiannya yang kurang berkenan padanya. Dan masih banyak yang harus dievaluasi.
Tapi, saya teringat pada kajian kitab Ta’lim Muta’alim. Ustadz menyampaikan, pencarian dan penguasaan ilmu yang tidak didahului oleh adab akan melahirkan petaka besar. Para pelajar yang miskin adab akan menghilangkan keberkahan ilmu, menumbuhkan kesombongan dan kelalaian dari amanah menimba ilmu. Kesombongan dalam artian merasa dirinya lebih tahu, lebih pintar, lebih pantas, dan lebih lainnya dari gurunya. Sehingga dijumpai fenomena banyaknya pelajar tapi kehilangan manfaat ilmu.
Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas ra., pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.”
Karena adab adalah pintu bagi keberkahan ilmu. Maka hendaknya diri melakukan adab terhadap dirinya, terhadap ilmu, juga terhadap guru sebelum beranjak mempelajari ilmu. Sehingga wajar jika ulama terdahulu menjadi orang yang ‘alim lagi tawadhu, berbuah amal, jujur, mengemban tanggung jawab syi’ar dan dakwah.
Ada beberapa hal adab terhadap diri yang disarikan dalam kitab Tadzkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim, karya Imam Ibnu Jama’ah Asy Syafi’i, diantaranya, pertama, membersihkan diri dari semua penyakit hati yang bisa menghalangi masuknya ilmu, baik iri, dengki, hasud, khianat, dan lainnya. Kedua, meluruskan niat mencari ilmu hanya karena Allah, untuk menggapai Ridho Allah. Ilmunya pun segera diamalkan untuk menghidupkan dan menegakkan syariat. Ketiga, bersegera ketika masih muda dan tidak membuang waktu.
Sementara adab terhadap guru diantaranya, pertama mengikuti nasihat guru karena ketundukan pada guru adalah kebaikan dan kemuliaan. Kedua, memuliakan guru dan menjaga kehormatannya dengan penuh keikhlasan.
Dikatakan, “Pencari ilmu hendaknya melihat gurunya dengan pandangan penuh kehormatan dan percaya kepada gurunya dengan derajat kesempurnaan karena hal itu lebih mendekatkan dirinya pada nilai manfaat. Sebagian salaf terbiasa jika menghadap kepada gurunya, ia bersedekah dan berdoa, ‘Ya Allah, tutuplah aib guruku dariku dan janganlah hilangkan keberkahan ilmunya dariku.’”
Ketiga, mengetahui keutamaan gurunya dan menjaga haknya.
Salah seorang ustadzah saya bahkan menceritakan, al kisah ada murid yang kurang dalam memahami ilmu pelajaran. Suatu saat, hujan turun sementara murid ini ada kelas. Karena tak ingin ketinggalan kelas ia pun nekat menerobos hujan.
Sayangnya, ia tak membawa tas atau pun payung. Jadi, ia membungkus kitabnya, dengan baju luarnya, dan melindungi kitab tersebut. Tatkala guru sang murid menyaksikan hal itu, ia pun berdo’a agar Allah membukakan pikiran sang murid, memberkahi ilmunya. Semenjak itu, sang murid menjadi murid yang cerdas dan ringan mengamalkan juga mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Masyaallah.
PR besar bagi para pencari ilmu dan juga guru, agar berkah ilmu. Adab yang dijadikan pendahulu sebelum mempelajari ilmu. Karena adab adalah perhiasan ilmu, yang menentukan keberkahan ilmu itu sendiri.
Wallahu’alam bish shawab. []