SUATU sore di tengah telaga terlihat dua orang sedang memancing. Tampaknya mereka ayah dan anak yang sedang menghabiskan waktu bersama. Di atas perahu kecil, keduanya sibuk mengatur joran dan umpan. Air telaga bergoyang perlahan, membentuk riak. Gelombangnya mengalun menuju tepian, menyentuh sayap-sayap angsa yang sedang berjalan beriringan. Suasana begitu tenang hingga terdengar sebuah percakapan.
“Ayah.”
“Hmm…, ya.” Sang ayah menjawab pelan. Matanya tetap tertuju pada ujung kailnya yang terjulur.
“Beberapa malam ini,” ucap sang anak, “aku bermimpi aneh. Dalam mimpiku ada dua ekor singa yang tampak sedang berkelahi dalam hatiku. Gigi-gigi mereka terlihat runcing dan tajam. Keduanya sibuk mencakar dan menggeram seperti saling ingin menerkam. Mereka tampak ingin saling menjatuhkan.”
Anak muda ini terdiam sesaat, lalu melanjutkan ceritanya. “Singa yang pertama terlihat baik dan tenang. Geraknya perlahan namun pasti. Badannya pun kokoh, bulunya teratur. Walaupun suaranya keras, tapi terdengar menenangkan buatku.”
Ayah menoleh dan meletakkan pancingnya di pinggir haluan.
“Tapi, Ayah, singa yang satu lagi menakutkan. Geraknya tak beraturan, sibuk menerjang ke sana ke mari. Punggung kotor, bulunya koyak, suaranya parau dan menyakitkan.
“Aku bingung apa maksud mimpi itu. Apakah singa-singa itu gambaran dari sifat-sifat baik dan buruk yang aku miliki? Dan, singa mana yang akan memenangkan pertarungan itu karena sepertinya mereka sama-sama kuat?
Melihat anaknya yang baru beranjak dewasa itu bingung, sang Ayah mulai angkat bicara. Dipegangnya punggung pemuda gagah di depannya. Sambil tersenyum, si ayah berkata, “Pemenangnya adalah yang paling sering kamu beri makan.”
Ayah kembali tersenyum dan mengambil pancingnya. Lalu, dengan satu hentakan kuat dilontarkannya ujung kail itu ke tengah telaga. Tercipta kembali pusaran-pusaran air yang tampak membesar. Gelombang riak itu kembali menerpa sayap-sayap angsa putih di tepian telaga.
Teman, begitulah adanya. Setiap diri kita punya dua ekor “singa” yang selalu bersaing. Keduanya selalu berusaha untuk saling menjatuhkan. Mereka berusaha untuk menjadi pemimpin bagi yang lainnya. Pertarungan di antara mereka tak pernah tuntas karena selalu saja terjadi pergiliran kemenangan. Kalah-menang dalam persaingan itu layaknya mata koin yang selalu berganti-ganti. Dan kita sering dibuat bingung, sebab kedua kekuatan baik-buruk ini terlihat sama kuatnya.
Tapi, siapakah pemenangnya saat ini dalam diri Anda? Singa yang kokoh dengan bulu yang teratur ataukah singa yang berbulu koyak dan menakutkan? Lalu, singa macam apa yang kini sedang menguasai Anda, “singa” yang optimis, pantang menyerah, tekun, sabar, damai, rendah hati, dan toleran, ataukah “singa” yang pesimis, tertekan, mudah menyerah,
sombong dan penuh dengki?
Saya percaya, kita sendirilah yang menentukan kemenangan bagi kedua singa-singa itu. Jika kita sering memberi “makan” pada singa yang damai tadi, maka imbalan kebaikanlah yang akan kita dapatkan. Jika kita terbiasa untuk memupuk optimis dan pantang menyerah, maka “singa” keberhasilan lah yang akan kita peroleh. Namun sebaliknya, jika setiap saat kita memendam marah, menebar prasangka dan dengki, bersikap tak sabar dan mudah menyerah, maka akan jelaslah “singa” macam apa yang jadi pemenangnya.
Teman, biarkan “singa-singa” penuh semangat hadir dalam jiwa Anda. Rawatlah singa-singa itu dengan keluhuran budi, dan kebersihan nurani. Susunlah bulu-bulu kedamaiannya, cermati terus rahang persahabatannya. Perkuat punggung optimisnya, dan pertajam selalu kuku-kuku kesabaran miliknya. Biarkan singa ini yang jadi pemenang.
Namun, jangan biarkan “singa-singa” pemarah menguasai pikiran Anda. Jangan pernah berikan kesempatan bagi kedengkian itu untuk membesar dan menjadi penghalang keberhasilan. Jangan biarkan rasa pesimis, jiwa yang gundah, tak sabar, dan rendah diri menjadi pemimpin bagi Anda.
Saya percaya, imbalan yang kita peroleh adalah gambaran dari apa yang kita berikan hari ini. Lalu, singa mana yang akan Anda beri makan hari ini? [Irfan Toni Herlambang/Majalah SAKSI]