IRI ada dua macam. Pertama, tidak terpuji secara syara’. Yaitu tidak suka sama sekali melihat orang lain mendapat kenikmatan.
Yang kedua disebut Al-ghabtahah, yang berarti seseorang berharap agar ia mendapatkan kenikmatan seperti yang diperoleh orang lain, tanpa mengharap kenikmatan itu lepas dari orang tersebut.
BACA JUGA: Pesan Raja kepada Orang yang Hasad
Jenis iri yang kedua ini tidak tercela khususnya jika nikmat yang diinginkan seseorang itu nikmat yang baik menurut hukum agama.
Misalnya seperti iri terhadap penghafa-penghafal al-Quran dan penginfak harta-harta yang membuatnya ingin melakukan hal yang sama.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada iri yang terpuji kecuali dalam dua hal: Seseorang yang diberi kemampuan Allah untuk menghafal Al-quran kemudian ia lakukan siang dan malam dan seseorang yang diberi harta banyak kemudian menginfakkannya siang dan malam,” (HR. Bukhari Muslim)
Al-Quran menggambarkan iri pertama dengan bentuk iri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik kepada Nabi Muhammad SAW.
Karena gelar kenabian yang dikhusukan Allah SAW baginya. Dan keirian mereka melihat orang-orang mukmin atas karunia iman dan hidayah yang diberikan Allah SWT kepada mereka.
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Baqarah: 105).
BACA JUGA: Doa agar Terhindar dari Sifat Hasad
Iri dapat membawa kepada kebencian dan permusuhan, maka Allah memerintahkan kita untuk berlindung dari kejatahat orang yang hasad.
“Dan dari kejatan pendengki bila ia dengki,” (Al-Falaq: 5). []
Sumber: Psikologi Qurani/ Karya: Prof. Dr. M. Utsman Najati/Penerbit: Aulia Press