NAZAR adalah janji tentang kebaikan yang asalnya tidak wajib menurut syara’ akan tetapi sesudah dinazarkan maka menjadi wajib.
Seperti firman Allah Swt yang artinya: ” Mereka menunaikan nazarnya,”(QS. Ad-Dahr:7)
Begitupun telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa bernazar akan menaati Allah (mengerjakan perintah-perintah-Nya), hendaklah dia kerjakan,”(HR. Bukhari)
BACA JUGA: Nazar dalam Pandangan Syariat Islam
Ada dua macam nazar, yaitu:
1. Menjanjikan ibadah apabila dia mendapat nikmat (keuntungan) atau karena terhindar dari bahaya. Umpamanya seorang berkata, “Kalau saya dikarunia Allah anak, saya akan puasa lima hari karena Allah,” atau “Kalau Allah menyembuhkan penyakit saya ini, saya akan shalat tengah malam enam kali karena Allah.” Maka apabila ia memperoleh anak, atau sembuh dari sakitnya, dia wajib berpuasa lima hari, atau shalat malam enam kali.
2. Mewajibkan ibadah dengan tidak ada sebabnya. Misalnya dia berkata,”Saya akan berpuasa bulan ini, tiga hari karena Allah.” Atau”Saya akan shalat dua rakaat.”
Nazar yang kedua ini-menurut sebagian ulama-wajib dikerjakan sebagaimana hukum nazar yang pertama. Pendapat inilah yang kuat dalam mazhab Syafi’I, beralasan dengan hadis yang disebutkan di atas. Sebagian ulama berpendapat tidak sah, berarti tidak wajib ditepati.
BACA JUGA: Hukum Menunaikan Nazar Orang yang Sudah Meninggal
Bernazar akan berbuat maksiat (larangan Allah SWT) maka nazarnya tidak sah, misalnya seseorang yang bernazar akan minum arak dan sebagainya.
Sabda Rasulullah SAW: “ Barangsiapa bernazar akan mengerjakan maksiat (larangan Allah), janganlah ia kerjakan maksiat itu.” (HR. Bukhari). []
Sumber: H.Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo