Oleh : Ahmad Fatoni
Pengajar Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Malang
HIJRAH. Momen yang menjadi dasar sistem penanggalan Islam adalah fakta atas transformasi perilaku sosial yang berhasil di bawah binaan langsung dari Nabi Muhammad. Perpindahan kaum muslimin dari Mekah ke Madinah merupakan pintu gerbang terwujudnya sebuah masyarakat Islam yang berkeadaban.
Atas dasar itulah, momentum tahun baru hijriyah identik dengan cita-cita luhur menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Kendati tidak harus berpindah secara fisik, hijrah saat ini bisa direfleksikan dengan perbaikan sikap dan perilaku masyarakat supaya tidak terjerumus pada nilai-nilai amoralitas.
BACA JUGA: Mengapa Dianjurkan Puasa Tanggal 9 dan 10 Muharram?
Makna Historis
Tahun hijriah dalam Islam tidak lepas dari sejarah awal perkembangan Islam. Pada zaman kekhilafahan Umar bin Khattab muncul persoalan. Masa itu Abu Musa al-Asy’ari sebagai salah seorang gubernur menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Mendapatkan masukan ini, khalifah Umar bin Khatab menggelar musyawarah. Maka dikumpulkanlah beberapa sahabat senior seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhan bin Ubaidillah.
Dalam musyawarah itu lahir beberapa usulan terkait penetapan tahun Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan kelahiran Nabi Muhammad. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad menjadi Rasul. Dan ada pula yang mengusulkan berdasarkan hijrah Rasulullah SAW. Usulan terakhir ini datang dari Ali bin Abi Thalib yang kemudian disepakati. Maka ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah SAW.
Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriah digunakan nama-nama bulan yang telah berlaku di kalangan bangsa Arab saat itu. Sejak dari hasil musyawarah itu, penanggalan hijriah lalu ditetapkan sebagai standar dalam penentuan waktu-waktu ibadah dalam Islam. Puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan, haji pada bulan Dzulhijjah, penetapan Hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal dan sebagainya.
Mereka menyepakati bahwa kalender hijriah dimulai dari masa hijrah ke Madinah. Bukan dari waktu kelahiran Rasulullah, dan bukan dari diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah.
Dalam penentuan awal kalender Islam ini tentu mengandung hikmah besar. Jika kelahiran Rasulullah, itu adalah skenario dari Allah. Demikian pula diutusnya Muhammad sebagai seorang utusan juga adalah kehendak Allah.
Namun peritiwa hijrah, meski atas skenario Allah, ia sebuah proses manusiawi yang penuh dengan semangat perjuangan Rasulullah SAW untuk diteladani generasi berikutnya. Melihat kondisi Mekah yang tak lagi kondusif bagi perkembangan dakwah Islam, Rasulullah lalu keluar menuju Madinah sebagai basis gerakan yang siap dihuni oleh kaum muslimin.
Hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabatnya bukanlah pengorbanan yang ringan. Banyak di antara mereka menghadapi siksaan di kampung halamannya harus berpindah ke negeri lain yang tidak dikenal dan masih samar akan masa depan mereka. Di saat yang sama mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda yang tidak mungkin dibawa. Namun karena iman, mereka menempuh perjuangan yang amat melelahkan.
Para sahabat pun rela meninggalkan kampung halaman dan semua harta benda mereka. Bahkan rela bertaruh nyawa sebab tidak ada jaminan bahwa hijrah tersebut berjalan mulus tanpa gangguan kafir Quraisy hingga bisa keluar dari Makkah dengan selamat. Terlebih hijrahnya Rasulullah dan Abu Bakar yang langsung diburu oleh kafir Quraisy serta disayembarakan dengan hadiah besar bagi siapa yang bisa menangkap Rasulullah, hidup atau mati.
Makna Kontekstual
Hijrah secara maknawi selalu kontekstual sampai kapan pun. Hijrah bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi konsistensi diri memperjuangkan nilai-nilai luhur sehingga terwujud suatu masyarakat beradab dan sejahtera lahir batin. Nilai dan semangat hijrah menghendaki perubahan dari kejahiliyahan menuju pencerahan. Hijrah dari kekufuran menuju keimanan. Hijrah dari kesyirikan menuju ketauhidan. Hijrah dari kamaksiatan menuju ketaatan. Hijrah dari kebohongan menuju kejujuran. Hijrah dari yang haram menuju yang halal.
Tahun baru Hijriah sejatinya melecut semangat kebersamaan melakukan transformasi di berbagai lini kehidupan. Sebagai khalifah di muka bumi, kita diwajibkan mewujudkan nilai-nilai transformatif yang terkandung dalam semangat hijrah sehingga fungsi agama Islam tidak terkesan “mati gaya” ketika berhadapan dengan tantangan zaman. Di tengah kesemrawutan hidup, peran agama diperlukan sebagai kekuatan yang dapat menawarkan solusi.
BACA JUGA: Perlindungan Allah bagi Rasulullah dan Abu Bakar ketika Hijrah
Hijrah dapat pula diartikan perpindahan suatu kaum menuju kondisi yang lebih baik. Ini artinya terdapat perpindahan aktivitas fisik-geografis atau perubahan sikap dan laku. Itu sebabnya, tahun baru Hijriyah mestinya dimaknai sebagai ruang dan waktu merenungi semangat Nabi Muhammad dalam mewujudkan masyarakat madani. Pergantian tahun harus menyadarkan kita untuk berubah dan berpindah menuju kehidupan yang layak.
Dalam konteks pergantian tahun baru hijriyah, yang jatuh pada Kamis, 1 Muharam 1442 H, senyatanya bisa dijadikan bahan evaluasi transendental guna memperbaiki diri dalam setiap langkah keberagamaan kita. Andaikan tahun baru hanya dijadikan ritual seremonial belaka, fungsi Islam sebagai problem solver, seolah jauh panggang darai api.
Walhasil, nilai-nilai keislaman diharapkan dapat menciptakan kondisi sosial yang bermartabat dan sejahtera lahir batin sesuai dengan nilai-nilai dan semangat hijrah. Pergantian tahun baru dalam Islam, sejatinya melahirkan kesadaran publik, terutama di kalangan pemimpin, agar persoalan yang mendera bangsa ini terkikis habis. Bermula dari kesadaran inilah akan timbul kesadaran transformatif membebaskan masyarakat dari belitan kesulitan hidup yang berkepanjangan.
Pertanyaannya, mengapa umat Islam saat ini masih terjerat dalam teks-teks normatif walaupun peringatan hijrah selalu dikaitkan dengan perbaikan? Salah satu jawabannya adalah karena tahapan transformasi sosial dalam umat ini belum berjalan secara optimal. Seremoni peringatan tahun baru hijriah masih dalam tataran wacana pelengkap sambutan, pidato atau ceramah-ceramah, sehingga kehilangan konteksnya. []