Dalam KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ke-5 yang dihelat di Jakarta 6 – 7 Maret 2016 tahun lalu, 605 delegasi dari negara anggota serta berbagai organisasi turut serta. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas tidak mau ketinggalan untuk menghadiri perhelatan itu. Maklum, masa depan Palestina dan Al-Quds Al-Sharif menjadi inti utama pembicaraan.
Deklarasi Jakarta telah lahir. Deklarasi tersebut mengutuk dan menekan Israel untuk menghentikan pendudukan terhadap Yerusalem dan Palestina, serta menghentikan pembangunan pemukiman ilegal di salah satu wilayah Arab paling tua tersebut.
Namun jika berbicara tentang efektivitas suatu aksi, apakah deklarasi tersebut akan menghasilkan solusi yang benar-benar kongkret bagi Palestina? Kita tunggu.
Sambil menunggu jawaban dari pertanyaan di atas, mari kita mengulas beberapa bagian dari sejarah konflik Palestina dan Israel.
Pada tahun 1967, terjadi Perang Enam Hari yang juga dikenal sebagai perang Arab-Israel. Perang ini merupakan salah satu manifestasi ketegangan di Timur Tengah akibat pendirian negara Israel. Konflik di tanah Palestina ini melibatkan Mesir, Suriah dan Yordania, melawan Israel.
Hasilnya, Israel berhasil merebut Semenanjung Sinai, Kota Tua Yerusalem, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza. Keberhasilan Israel selama Perang Enam Hari diingat sebagai An Naksah atau “Kemunduran” dalam sejarah Palestina.
Peristiwa itu terjadi 49 tahun yang lalu, dan sekarang sedang bergerak menuju angka 50 pada tahun 2017 mendatang. Artinya, 50 tahun lamanya sudah Israel berdiri di atas penderitaan Palestina. Apakah cukup? Sepertinya belum.
Sejarah yang tidak berpihak
Pada 2 November 1917, Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Britania Raya yang kini disebut Inggris, memberikan sebuah surat kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis.
Surat tertanggal 31 Oktober 1917 itu menyatakan bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk menciptakan rumah nasional bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tidak ada hal-hal yang merugikan hak-hak sipil dan politik dari penduduk non Yahudi di Palestina.
Peristiwa itu kemudian disebut dengan Deklarasi Balfour. Terjadi seratus tahun yang lalu (jika dihitung pada tahun 2017). 50 tahun sebelum perang enam hari berkecamuk, embrio lahirnya Israel.
Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang merekomendasikan pembentukan Negara Arab, Yahudi serta Rezim Internasional khusus untuk Kota Yerusalem, dikenal dengan nama UN Partition Plan.
Kronologisnya seperti ini: runtuhnya kekaisaran Turki menjadi awal mula pendudukan Israel di Palestina. Palestina dikategorikan sebagai daerah mandat dari Liga Bangsa-bangsa dan kemudian diteruskan oleh PBB sebagai bagian dari trusteeship (perwalian).
Inggris sebagai pemegang mandat Palestina sejak tahun 1922, tidak mampu mengendalikan bentrokan yang terjadi antara bangsa Arab Palestina yang terdesak oleh imigran Yahudi yang semakin membanjir.
Setelah mengalami proses yang panjang, akhirnya Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 181 (II) pada 29 November 1947 yang kemudian dikenal sebagai UN Partition Plan. Isinya menyetujui rencana membagi Palestina menjadi tiga bagian.
Kini resolusi tersebut akan menginjak usia 70 tahun (jika dihitung pada tahun 2017), dan hingga kini Negara Arab maupun Yerusalem tidaklah berdiri sebagai sebuah negara sesuai resolusi. Tetapi menjadi bagian invasi militer Israel, karena Palestina belum diakui sebagai negara merdeka.
Pada 9 Desember 1987, muncul Intifada pertama yang dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah Palestina. Intifada berasal dari bahasa arab, yakni kebangkitan atau mengguncang.
Intifada merupakan gerakan perlawanan terhadap Israel atas pendudukan di tepi barat dan Gaza. Gerakan ini berakhir pada tahun 1991, pada perhelatan konferensi Madrid yang kemudian berlanjut pada persetujuan Oslo, September tahun 1993.
Save The Children, sebuah lembaga amal, mencatat korban jiwa dari Palestina sekitar 2 ribu orang dan 29 ribu anak-anak mendapatkan pertolongan medis. Jumlah manusia yang tidak sedikit, yang mungkin menghilangkan dua atau tiga generasi.
Intifada pertama berlangsung 30 tahun yang lalu (jika dihitung pada tahun 2017).
Apa yang menarik dari ketiga peristiwa diatas, tidak lain dan tidak bukan adalah kondisi Palestina yang tidak mengalami perubahan. Semuanya saling berkaitan, menghasilkan penindasan yang belum berakhir di bumi Palestina hingga sekarang.
2017, sebuah pertanyaan
50 tahun hidup di bawah kekuasaan militer asing merupakan sebuah parodi yang mengerikan. Kejahatan terhadap konsep pemerintahan ala filsuf Inggris John Locke, dimana sebuah pemerintahan hanya dapat berdiri dengan sah ketika melalui persetujuan rakyat. Hal yang tidak terjadi dalam pembentukan Israel. Negara itu didirikan diatas percikan darah.
2017 didepan mata, meskipun itu memakan waktu sembilan bulan kedepan. Namun waktu memang terlampau cepat melewati hari demi harinya, yang kadang membuat alpa bagi mereka yang mengabaikannya.
2017 menjadi tahun yang sangat penting bagi Palestina. ketika rakyat Palestina menginjakkan kaki di tahun tersebut, apakah rangkaian kejadian diatas masih terus berlangsung? Apakah berbagai peristiwa sejarah kelam tersebut sempurna menggenapkan bilangannya? Atau, mungkinkah Palestina merdeka?
Pertanyaan yang paling penting yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, apa yang sudah kita berikan untuk terwujudnya Palestina merdeka? []