KETIKA sepasang manusia menikah. Masing-masing pasangan, memiliki hak dan kewajiban. Memberi nafkah menjadi kewajiban dan tanggung jawab terbesar suami. Sementara melayani suami adalah tanggung jawab terbesar bagi istri.
Lalu bagaimana jika salah satu dari suami istri tersebut tidak memberikan nafkah, apakah otomatis cerai?
Allah berfirman,
“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. an-Nisa’: 34)
Allah sebut suami sebagai pemimpin, agar istri dan anggota keluarga tunduk dan taat kepadanya, selama bukan untuk maksiat.
Di ayat lain, Allah berfirman,
“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233).
Ketika salah satu atau bahkan kedua orang dari pasangan itu tidak menjalankan kewajibannya, bukan berarti nikah menjadi batal. Nikah tetap sah dan tidak otomatis cerai, sekalipun suami meninggalkan tanggung jawabnya atau istri tidak menjalankan kewajibannya.
Karena pelanggaran tanggung jawab dan kewajiban yang dilakukan oleh kedua pasangan dalam satu keluarga, bukan penyebab perceraian.
Oleh karena itu, ketika suami yang tidak memberi nafkah, pernikahan tidak otomatis cerai, sebagaimana ketika istri tidak mau taat kepada suami, pernikahan tidak langsung cerai.
Kita bisa simak ayat berikut,
“Para istri yang kalian khawatirkan melakukan nusyuz, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya…” (QS. An-Nisa: 34).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan, ketika terjadi pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh istri, dengan melakukan nusyuz, Allah tidak menghukumi pernikahan mereka batal. Namun Allah berikan solusi dan saran, untuk perbaikan keluarga. Jika kedurhakaan yang dilakukan istri membatalkan pernikahan, tentu tidak perlu lagi solusi semacam ini. Karena mereka sudah bercerai.
Demikian pula ketika suami yang melakukan nusyuz. Suami menampakkan rasa bosan kepada istrinya, sehingga malas untuk tinggal bersama istrinya. Dan bahkan tidak dinafkahi. Dalam kasus ini, istri berhak mengajukan sulh (berdamai), dengan melepaskan sebagian haknya yang menjadi kewajiban suaminya, dalam rangka mempertahankan keluarga.
Artinya, posisi suami yang melanggar kewajiban, tidak menyebabkan kaluarga otomatis cerai. Allah berfirman,
“jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik,” (QS. An-Nisa: 128).
Perceraian sifatnya resmi. Artinya harus ada pernyataan dari pihak yang berwenang. Bisa suami yang menjatuhkannya atau pengadilan. Selama kedua pasangan beragama yang sama.
Imam Ibnu Baz menjelaskan, kapan seorang wanita bisa dianggap telah ditalak,
Seorang wanita berstatus ditalak apabila,
- Suami menjatuhkan talak kepadanya
- Ketika menjatuhkan talak, suami sehat akal, tidak dipaksa, tidak gila, tidak mabuk, atau semacamnya
- Ketika menjatuhkan talak, istrinya sedang suci (tidak sedang haid) dan belum digauli, atau sedang hamil, atau sudah menapause.
(Fatawa at-Talak Ibnu Baz, 1/35)
Termasuk juga, suami pergi lama tanpa meninggalkan kabar. Yang ini jelas pelanggaran dan kedzaliman. Tapi pernikahan tetap sah.
Dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan Baihaqi, dinyatakan,
Umar radhiyallahu ‘anhu, mengirim surat kepada para pemimpin pasukan, memerintahkan untuk para suami yang meninggalkan istrinya, agar mereka memberikan nafkah atau mentalaknya. Jika mereka mentalak istrinya, mereka harus mengirim jatah nafkah selama dia tinggalkan dulu.
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa surat ini shahih dari Umar bin Khatab. (HR. Baihaqi dan dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa’, 2158).
Ketika salah satu dari kedua pasangan tidak melaksanakan kewajibannya, baik karena kesengajaan atau karena keterbatasan, maka pihak yang didzalimi haknya, boleh mengajukan pisah.
Allah melarang suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istrinya, untuk mempertahankan istrinya, agar bisa semakin mendzliminya. Dia buat istrinya terkatung-katung, punya suami tidak pernah tanggung jawab.
Allah berfirman,
“Janganlah kamu pertahankan (dengan rujuk) mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri,” (QS. al-Baqarah: 231).
Wajib bagi hakim (KUA) untuk menghilangkan sesuatu yang membahayakan istri. Ketika dipahami bahwa hakim boleh memisahkan suami istri karena suami lama menghilang, sementara tidak memberi nafkah termasuk menyakiti dan mendzlimi istri, lebih menyakitkan dari pada sebatas adanya aib pada suami, maka wewenang hakim untuk memisahkan suami istri karena tidak memberi nafkah, lebih kuat. (Fiqh Sunah, 2/288).
Meskipun solusi pisah sebisa mungkin dijadikan pemecahan terakhir, selama masih memungkinkan diperbaiki. Allahu a’lam. []
Sumber: Konsultasi syariah