BEBERAPA pelajaran dari kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam:
1. Jadi kaya yang bersyukur dan rajin berderma, jadi miskin yang bersabar.
Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
BACA JUGA: Lika-liku Nabi Yusuf, Mulai dari Mimpi hingga Jadi Raja
2. Lihatlah Nabi Ayyub ‘alaihis salam tidak jadi sombong dengan kekayaan yang ia miliki. Karena kekayaan itu sebenarnya ujian.
Dari Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata, “Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menuliskan surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya:
“Merasa cukuplah (qana’ah-lah) dengan rezeki dunia yang telah Allah berikan padamu. Karena Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) mengaruniakan lebih sebagian hamba dari lainnya dalam hal rezeki. Bahkan yang dilapangkan rezeki sebenarnya sedang diuji pula sebagaimana yang kurang dalam hal rezeki. Yang diberi kelapangan rezeki diuji bagaimanakah ia bisa bersyukur dan bagaimanakah ia bisa menunaikan kewajiban dari rezeki yang telah diberikan padanya.” (HR. Ibnu Abi Hatim. Dinukil dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 696)
3. Ingatlah kekayaan itu titipan ilahi. Kalau dipahami demikian, maka sewaktu-waktu ketika kenikmatan dunia tersebut diambil, tentu kita tidak akan terlalu sedih.
Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Ummu Sulaim (ibu dari Anas bin Malik, yang bernama asli Rumaysho atau Rumaisa) ketika berkata pada suaminya, Abu Thalhah. Saat itu puteranya meninggal dunia, Rumaysho malah menghibur suaminya di malam hari dengan memberi makan malam dan berhubungan intim. Setelah suaminya benar-benar puas, ia mengatakan,
يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ قَالَ لاَ قَالَتْ فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ
“Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak (artinya: boleh saja ia ambil, -pen).” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” (HR. Muslim, no. 2144)
4. Sakit dan ujian akan menghapus dosa. Sehingga kita butuh menahan diri untuk sabar karena mengetahui keutamaan ini.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari, no. 5660 dan Muslim, no. 2571)
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada masa depan), sedih (akan masa lalu), kesusahan hati (berduka cita) atau sesuatu yang menyakiti sampai pada duri yang menusuknya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573. Lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 118 dan Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 1: 491)
Sabar bagaimana yang dilakukan?
Kata Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani hafizahullah, sabar yang berpahala dilakukan dengan (1) ikhlas karena Allah, (2) mengadu pada Allah, bukan mengadu pada manusia, (3) sabar di awal musibah. (Muqowwimaat Ad-Daa’iyah An-Naajih, hlm. 201)
5. Penyakit tak menghalangi dari dzikir dan menjaga hati. Lihatlah Nabi Ayyub terus menggunakan lisannya untuk berdzikir walau sedang dalam keadaan sakit.
Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »
“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
6. Setiap orang diuji sesuai tingkatan iman. Lihat hadits berikut yang disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad,
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ « الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ صَلاَبَةٌ زِيدَ فِى بَلاَئِهِ وَإِنَ كَانَ فِى دِينِه رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ وَمَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِىَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya, ia pernah berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Manusia manakah yang paling berat cobaannya?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Para Nabi lalu orang shalih dan orang yang semisal itu dan semisal itu berikutnya. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Jika imannya semakin kuat, maka cobaannya akan semakin bertambah. Jika imannya lemah, maka cobaannya tidaklah berat. Kalau seorang hamba terus mendapatkan musibah, nantinya ia akan berjalan di muka bumi dalam keadaan tanpa dosa.” (HR. Ahmad, 1: 172. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
7. Kalau ingin kuatkan sabar, ingatlah cobaan yang lebih berat yang menimpa para Nabi.
Dari ‘Abdurrahman bin Saabith Al-Qurosyi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أُصِيبَ أَحَدُكُمْ بِمُصِيبَةٍ، فَلْيَذْكُرْ مُصِيبَتَهُ بِي، فَإِنَّهَا أَعْظَمُ الْمَصَائِبِ عِنْدَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpa diriku. Musibah padaku tetap lebih berat dari musibah yang menimpa dirinya.” (HR. ‘Abdurrozaq dalam mushannafnya, 3: 564; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 7: 167. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1106. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih karena berbagai syawahid atau penguat)
8. Musibah yang menimpa kita masih sangat sedikit dari nikmat yang telah Allah beri.
Coba ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam pada istrinya, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.”
9. Setan bisa saja mencelakai badan, harta dan keluarga seperti yang disebutkan dalam kisah Nabi Ayyub dalam surat Shad,
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb-nya: “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shaad: 41) (Lihat pembahasan Syaikh Asy-Syinqithi dalam Adhwa’ Al-Bayan, 4: 851)
10. Lepasnya musibah dengan doa. Itulah yang terjadi pada Nabi Ayyub, ia memohon pada Allah untuk diangkat musibah yang menimpa dirinya,
BACA JUGA: Cintanya Nabi dan Khadijah binti Khuwalid
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya’: 83)
Dalam surat Shaad disebutkan,
أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shaad: 41)
SUMBER: RUMAYSHO