SHALAT adalah kewajiban pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ketika peristiwa Isra Mi’raj. Shalat juga menjadi amalan yang pertama ditanya di yaumil hisab kelak. Karenanya, shalat harus dibarengi dengan rasa ikhlas, agar semua amalan tidak sia-sia. Hamba Allah yang ikhlas akan bersemangat mengerjakan shalat, karena ia meyakini shalat dalam mencengah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengeahui apa yang kamu kerjakan,“ (QS. AL-Ankabuut : 45).
Kekejian dan kemungkaran yang terjadi di Bumi ini sesungguhnya bersumber dari perilaku dan perbuatan manusia itu sendiri. Kesombongan dan keserakahan ummat manusia, telah membuat banyak kerusakan terjadi di Bumi. Dan shalat akan membawa penghambaan yang tulus seseorang manusia kepada Tuhannya.
Dalam shalat, sifat-sifat sombong, keserakahan, pembangkangan dalam diri manusia akan hilang, dan sifatsifat positif dalam diri manusia akan tumbuh, lalu pancarannya akan menerangi perilaku hidupnya setiap waktu.
Kenapa shalat dapat mencegah dari perilaku keji dan mungkar, karena nilai-nilai pencerahan dalam shalat seorang hamba akan mempengaruhi perilaku positif dalam hidupnya, dan efeknya akan mencegah kekejian dan kemungkaran di dunia ini.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW juga pernah berkata : “Shalat adalah kenikmatan pandangan mataku (Qurata’ a’yyun), dan dia juga menyebutnya (Shalat) sebagai ’istirahat kita’.”
Saat Rasulullah SAW Isra Mi’raj dan menerima perintah shalat, Beliau bertemu langsung dengan Allah SWT. Berjumpa dengan Allah adalah kenikmatan yang tak ada bandingannya, bahkan nikmatnya surga tak ada bandingnya dengan perjumpaan dengan Dzat Allah.
Allah adalah pencipta yang dzatnya tidak dapat dilukiskan kata-kata, tak satupun kata dapat diucapkan untuk mengungkapkannya, dan tak satupun jawaban dapat mendefinisikannya. Dia adalah petunjuk bagi seluruh makhluk-Nya.
Seperti firmannya dalam sebuah Hadist-Qudsi: “ Aku ini adalah perbendaharaan yang tersembunyi, aku ingin diketahui, aku jadikan makhluk supaya diketahui dan dikenal. ” (Hadits-Qudsi)
Perjumpaan dengan Allah yang penuh kenikmatan dalam Isra Mi’raj, membuat beliau merasa berat hati untuk meninggalkan tempat terhormat yang penuh berkah tersebut, lalu Allah SWT berkata kepada Nabi Muhammad:
“ Hai Muhammad, engkau adalah utusan abdi-Ku sebagaimana semua utusan-Ku, bila engkau tinggal disini, engkau tidak dapat menyampaikan pesanku untuk abdi-Ku. Bilamana engkau menginginkan suasana seperti ini maka shalatlah, dan aku akan membuka suasana ini bagimu. “
Kemudian nabi diperintahkan untuk kembali ke dunia, namun dia meninggalkan jiwanya di surga, ruhnya di pohon teratai, dan kalbunya dalam hadirat ilahi yang tak tergumamkan, sementara rahasianya ditinggal mengambang tanpa tempat.
Kisah di atas memberi pelajaran bahwa shalat yang benar (sempurna) adalah bila dapat bila merasakan. “Tabir ke-Esaan Allah!“, membawa diri seorang hamba dalam bahtera yang mengambang di tengah-tengah angkasa ilahi. Mencapai pertemuan dengan Dzat yang agung, anggun, dan tak terucapkan.
Jadi tak berlebihan bila kita menyimpulkan “shalat adalah mirajnya seorang mumin,” karena hanya dalam shalatlah, seorang hamba akan mencapai perjumpaan dengan Allah.
Itu sebabnya Rasulullah SAW mengatakan “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat Aku shalat ”, bukan “Shalatlah sebagaimana kalian aku ajari shalat.“ Itu artinya kesempurnaan keadaan shalat (khusyu), sepenuhnya wewenang Allah SWT yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Terutama kepada hamba-hambanya yang ikhlas dalam shalat, dan mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang bisa mencapai keikhlasan dalam shalat. Wallahualam []
Sumber: Keajaiban Ikhlas/Muhammad Gatot Aryo Al-Huseini/Coretan Books Publishing