GUBERNUR al-Hisyam adalah salah seorang pejabat yang sangat berkuasa pada zaman Dinasti Umayah. Al-Hisyam sering kali menggunakan kekuasaannya untuk keperluannya sendiri. Seperti suatu kali, ia ingin menunaikan ibadah haji. Atas biaya negara, ia pun berangkat menuju tanah suci Mekkah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ibadah haji yang dilaksanakan al-Hisyam saat itu diikuti rombongan besar yang terdiri dari sanak saudara, pejabat teras, dan para pengawalnya.
Pada masa pemerintahan ini, jumlah sahabat Rasulullah yang masih hidup hanya tertinggal beberapa orang saja. Bisa dihitung dengan jari. Di Mekkah, entah kenapa, tiba-tiba saja al-Hisyam ingin bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah. Tetapi, terlambat. Sahabat terakhir yang ada di kota suci itu pun sudah wafat. Karenanya, para pengawal al-Hisyam tidak bisa mendatangkan sahabat kepada sang gubernur. Akhirnya sebagai gantinya, para pengawalpun mendatangkan salah seorang tabiin, generasi setelah sahabat, yang masih hidup untuk dipertemukan dengan Hisyam.
Tabiin yang terpilih itu adalah Thawus Al-Yamani. Ia yang kemudian mewakili para tabiin yang lainnya. Maka, Thawus pun segera menghadap Gubernur Hisyam. Di wajahnya tidak tersirat beban apapun.
Ketika hampir masuk, Thawus menanggalkan alas kakinya persis halnya ketika akan menginjak permadani merah yang membentang mewah di hadapan Hisyam. Hisyam, ketika itu sedikit mendongak keras. Emosinya mendadak mendidih. Tapi ia masih bisa menahan diri.
“Assalamuallaikum,” ucap Thawus kepada Hisyam–tanpa didahului dengan ucapan ta’zhim terlebih dahulu. Dan yang cukup membuat Hisyam lebih tersentak lagi adalah ketika Thawus masuk dan duduk persis di samping tempat duduk Hisyam. Muka Hisyam merah. Apalagi ketika Thawus bertanya, “bagaimana keadaanmu wahai Hisyam?”
Mendapat perlakuan seperti itu, Hisyam tentu saja trsinggung. Ia marah besar. Hampir-hampir ia segera memberikan hukuman. Atau membunuhnya sekalian. Orang macam apa dia, bertemu dengan seorang gubernur tidak mempunyai kesantunan sama sekali?
Thawus bukannya tidak menyadari hal itu. Namun, ia berusaha untuk tersenyum kepada Hisyam seraya berkata, “Wahai Hisyam, engkau berada di wilayah tanah suci Allah dan tanah suci RasulNya. Karenanya, demi tempat yang mulia ini engkau tidak diperkenankan melakukan niat buruk seperti itu.”
Hisyam terperanjat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang di hadapannya mengetahui apa yang ada dalam hatinya. Tapi tak urung ia berujar juga, masih dalam keadaan marah, “Lalu, engkau sendiri, apa maksudmu berulah seperti ini?”
Thawus malah balik bertanya, “Apa yang telah aku lakukan?”
Hisyam menarik nafas sambil terus memandangi muka Thawus dengan penuh ketersinggungan. “Engkau tanggalkan alas kaki persis di hadapan karpet merahku. Engkau masuk tanpa salam ta’zhim terlebih dahulu kepadaku dan tidak mencium tanganku. Engkau memanggilku hanya dengan nama kecilku tanpa gelar kehormatanku. Dan engkau duduk di sampingku tanpa terlebih dahulu permisi. Bukankah semua itu merupakan penghinaan kepadaku?”
Thawus kembali tersenyum. Ia balik memandang Hisyam dengan tajam. Hisyam merasa risih entah kenapa. Sejurus kemudian, Thawus bersuara kembali, “Wahai Hisyam! Inginkah engkau mengetahui kenapa aku melakukan semua ini?”
Tanpa menunggu jawaban Hisyam, Thawus terus berkata, “Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkan alas kakiku lima kali sehari saat aku menghadap Tuhanku, Azza waJalla. Dia tidak marah, apalagi murka lantaran perbuatanku itu.
“Wahai Hisyam! Aku tidak mencium tanganmu lantaran aku mendengar Ali bin Abi Thalib berkata bahwa seseorang tidak boleh mencium tangan orang lain kecuali tangan istrinya karena syahwat, atau tangan anaknya karena kasih sayang. Hai Hisyam! Aku tidak mengucapkan salam ta’zhim dan menyebutmu dengan kata-kata Amirul Mukminin karena tidak semua orang rela atas kepemimpinanmu. Karenanya aku enggan berbohong.”
“Hai Hisyam! Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran lantaran Allah memanggil para kekasihNya di dalam Al-Quran dengan sebutan nama semata-mata, seperti ‘Ya Daud, Ya Yahya, Ya Isa.’ Sedangkan Ia memanggil musuh-musuhNya dengan sebutan ‘kuniyah,’ seperti Abu Lahab.
“Wahai Hisyam! Aku duduk di sampingmu lantaran kudengar Ali berkata, ‘apabila engkau ingin melihat calon penghuni neraka, lihatlah orang yang duduk sementara orang sekitarnya tegak berdiri.’
Mendengar jawaban-jawaban ini, Hisyam yang pada awalnya sangat marah, lunglai dengan tiba-tiba. Kata-kata Thawus begitu tajam menohok dirinya. Tapi di sisi lain, ia meyakini kebenaran apa yang dikatakan oleh Thawus.
Walau dengan malu yang luar biasa, Hisyam kemudian tiba-tiba kini bersimpati kepada Thawus. Kemudian ia malah minta nasihat kepadanya.
Memenuhi permintaan itu, Thawus pun berkata, “Kudengar Ali berkata dalam salah satu nasihatnya, bahwa sungguh dalam api neraka ada ular-ular yang berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.”
Mendengar itu, Hisyam pun menggigil. Ia takut kalau-kalau selama ini ia tidak berlaku adil kepada rakyatnya. Ia tiba-tiba ingin belajar kepada Thawus untuk belajar bersikap adil. Seperti tadi Thawus datang kepadanya. Seorang tabiin yang mencoba bersikap adil kepada pemimpinnya. []