HIDUP tak akan lepas dari masalah dan ujian. Pun begitu dengan pernikahan. Lika-liku hidup berumah tangga sudah pasti dialami pasangan suami istri. Ibarat sebuah batu seberat satu kilogram yang akan terasa berat jika dibebankan kepada anak usia dua tahun, namun akan terasa ringan jika dijinjing oleh dua orang dewasa sehat berusia dua puluh tahunan.
Selain pengalaman, ilmu dan iman merupakan kompetensi yang harus dimiliki agar sebuah beban terasa ringan. Agar seseorang mampu menjalaninya dengan semangat, seberat dan serumit apa pun persoalannya.
Begitu pun dengan ujian pernikahan. Semuanya dikembalikan kepada masing-masing individu yang terlibat di dalamnya dan niat awal mereka untuk menikah.
Seorang istri yang biasa hidup mewah akan berat jika diuji dengan kekurangan harta dan makanan setelah menikah. Semakin rumit ketika orang tuanya meninggal dunia tanpa mewariskan harta yang banyak, kemudian suaminya tidak cakap dalam mengupayakan nafkah.
Jika dibiarkan terus menerus, ujian yang ujungnya ada di perut ini bisa berdampak bahaya; pertengkaran karena lapar, menuntut hak karena terlalu banyak melihat rumah tangga orang lain, hingga berujung pada perceraian.
Demikian pula dengan seorang laki-laki yang hidup dalam lingkungan keshalihan. Ia akan mengalami ujian yang berat tatkala istrinya-ternyata-bukan seorang Muslimah yang taat dalam menjalankan ibadah wajib dan sunnah.
Ada jarak yang sangat jauh. Ada rentang yang amat panjang. Si laki-laki sangat terpukul, sebab di dalam benaknya, dengan menikah akan tambah shalih dan mudah serta nikmat dalam beribadah lantaran ada teman sejati. Tapi ia-justru-mendapatkan kesukaran tak bertepi karena harus bekerja keras untuk mempertahankan keshalihannya.
Bukan hanya agar bisa istiqamah dengan ritme yang ia jalani, tapi juga harus mengajak istrinya untuk bergabung dalam garis edar ruhani yang sama. Sayangnya, alih-alih menuruti ajakan suaminya dalam taat, sang istri juga membangkang bahkan menentang saat diajak melakukan berbagai jenis amal ketaatan. []