مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافِقَاتِ. وَ تَرْكُ النَّدَمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ
“DI antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas ketaatan yang kau lewatkan dan tidak adanya perasaan menyesal atas kesalahan yang kau lakukan.” (Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari)
Tanda hidupnya hati ialah memancarnya cahaya Ilahi dari hatimu meskipun kau belum mendapatkan cahaya itu karena tebalnya hijabmu.
BACA JUGA: 3 Penyakit Hati para Penuntut Ilmu
Kesedihanmu atas ketaatan yang terlewatkan dan penyesalanmu atas kesalahan yang telah kau lakukan atau kebahagiaanmu atas amal-amal baikmu dan kesedihanmu atas amal-amal burukmu membuktikan bahwa kau termasuk ahli irādah (orang yang dikehendaki dan dicintai Allah). Oleh karena itu, giatlah dalam beramal saleh dan jangan malas!
لَا يَعْظُمُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ عَظَمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللهِ تَعَالَى فَإِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اسْتَصْغَرَ فِيْ جَنْبِ كَرَمِهِ ذَنْبَهُ
“Jangan sampai dosa yang kau anggap besar menghalangimu untuk berbaik sangka kepada-Nya. Siapa yang mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya kecil jika dibandingkan dengan kemurahan-Nya.” (Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī)
Jangan kau anggap dosa yang kau lakukan itu besar dan tidak mungkin diampuni sehingga membuatmu putus asa dari rahmat Tuhanmu. Anggapan semacam itu termasuk sikap tercela dan dapat merusak keimanan. Sikap itu bahkan lebih buruk daripada dosa yang kau lakukan.
Hal itu mencerminkan ketidaktahuanmu tentang Tuhanmu dan memperlihatkan bahwa kau mengandalkan diri sendiri di hadapan Tuhanmu. Siapa yang mengenal Tuhannya dengan baik tentu akan mengetahui dosa apa saja yang tidak ada ampunan dan maafnya.
Lain halnya jika anggapan itu mendorong pelakunya untuk bertobat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ini adalah anggapan yang terpuji dan merupakan tanda keimanan seorang hamba.
Ibnu Mas‘ūd berkata: “Seorang mukmin melihat dosa seperti melihat gunung yang besar. Ia takut dosa itu runtuh menimpanya. Sementara itu, seorang pendosa melihat dosa seperti melihat seekor lalat yang hinggap di hidungnya. Ketika ia menepisnya, lalat itu pun terbang dan hingga kembali.”
Ada yang berkata: “Semakin ketaatan seseorang dianggap kecil maka ia semakin besar di sisi Allah. Semakin maksiat dianggap besar maka ia akan semakin kecil di sisi-Nya.”
لَا صَغِيْرَةَ إِذَا قَابَلَكَ عَدْلُهُ وَ لَا كَبِيْرَةَ إِذَا وَاجَهَكَ فَضْلُهُ
“Tidak ada dosa kecil jika kau dihadapkan pada keadilan-Nya dan tidak ada dosa besar jika kau dihadapkan pada karunia-Nya.” (Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī)
Ketika keadilan Allah berbicara, semua dosa adalah besar. Keadilan Allah adalah kuasa-Nya untuk melakukan apa saja, tanpa ada yang bisa menahan dan melarang-Nya. Jika sifat adil Allah muncul di hadapan orang yang dibenci-Nya, kebaikan-kebaikan orang itu akan diabaikan dan dosa-dosa kecilnya akan dipandang besar.
Adapun karunia Allah adalah pemberian-Nya tanpa berharap balasan dan ganti. Jika karunia itu diberikan kepadamu, dosamu akan menjadi kecil. Jika sifat murah hati-Nya muncul di hadapan orang yang dicintai-Nya, semua kesalahan dan keburukannya akan diabaikan, sedangkan dosa besarnya akan dipandang kecil.
Oleh sebab itu, asy-Syādzilī kerap berdoa: “Ya Allah, jadikan keburukan kami keburukan orang-orang yang Kau cintai dan jangan jadikan kebaikan kami kebaikan orang yang Kau benci!”Agama Islam mengajarkan umat manusia untuk menjaga kebersihan dan kesucian hati. Bahkan hati harus dijaga dari macam-macam penyakit hati yang merusak manusia.
Syekh Ibnu Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam menerangkan tanda matinya hati seseorang. Salah satu tandanya adalah tidak merasa sedih saat ketinggalan melakukan amal baik dan mengerjakan kewajiban. Serta tidak menyesal setelah berbuat dosa.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang merasa senang oleh amal kebaikannya dan merasa sedih atau menyesal atas perbuatan dosanya, maka ia seorang mukmin (beriman).”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika kami dalam majelis Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang yang turun dari kendaraannya kemudian mendekat kepada Rasulullah SAW.
Ia berkata, “Ya Rasulullah, saya telah membuat lelah kendaraan saya selama sembilan hari, saya jalankan terus selama enam hari, tidak tidur di waktu malam dan puasa di siang hari. Keperluannya hanya untuk menanyakan kepadamu dua masalah yang merisaukan hatiku hingga tidak bisa tidur.” Rasulullah SAW bertanya, “Siapa kamu?” Jawabnya, “Zaidul-Khoir.”
Rasulullah SAW berkata, “Zaidul-Khoir, tanyakan sesuatu yang sulit itu, aku sudah pernah ditanya soal yang sulit itu.”
BACA JUGA: Awas Hati-hati, Ini 3 Macam Sifat Sombong
Zaidul-Khoir berkata, “Saya sekarang suka ke amal kebaikan dan orang-orang yang melakukan amal kebaikan. Bahkan suka dengan tersebarnya amal kebaikan itu. Bila aku ketinggalan berbuat amal baik, aku merasa menyesal dan rindu melakukan amal baik. Jika aku melakukan amal sedikit atau banyak, aku tetap yakin akan pahalanya.”
Rasulullah SAW menjawab, “Ya itulah dia, andaikan Allah tidak suka kepada kamu, tentu kamu disiapkan untuk melakukan yang lain selain itu, dan tidak peduli di jurang mana kamu akan binasa.”
Zaidul-Khoir menjawab lagi, “Cukup-cukup, lalu ia berangkat kembali setelah menaiki kendaraannya.”
SUMBER: HATISENANG | REPUBLIKA