FENOMENA Rebo Wekasan telah menjadi salah satu tradisi di masyarakat. Bukan hanya di tanah air, melainkan juga di berbagai belahan dunia. Ini terkait dengan kepercayaan tentang hari sial yang jatuh pada Rabu terakhir di bulan Safar. Sehingga beberapa kalangan muslim melakukan amalan-amalan tertentu guna menolak bala di hari tersebut.
Dalam Kanzun Najah karya Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds, disebutkan pasal hal-hal yang dianjurkan ketika bulan safar:
اعلم…أن مجموع الذي نقل من كلام الصالحين كما يعلم مما سيأتي أنه ينزل في آخر أربعاء من صفر بلاء عظيم، وأن البلاء الذي يفرِّق في سائر السنة كله ينزل في ذلك اليوم، فمن أراد السلامة والحفظ من ذلك فليدع أول يوم من صفر، وكذا في آخر أربعاء منه بهذا الدعاء؛ فمن دعا به دفع الله سبحانه وتعالى عنه شرَّ ذلك البلاء. هكذا وجدته بخط بعض الصالحين
“Ketahuilah bahwa sekelompok nukilan dari keterangan orang shaleh – sebagaimana nanti akan diketahui – bahwa pada hari rabu terakhir bulan safar akan turun bencana besar. Bencana inilah yang akan tersebar di sepanjang tahun itu. Semuanya turun pada hari itu. Siapa yang ingin selamat dan dijaga dari bencana itu, maka berdoalah di tanggal 1 safar, demikian pula di hari rabu terakhir dengan doa yang sama. Siapa yang berdoa dengan kalimat itu maka Allah akan menyelamatkannya dari keburuhan musibah tersebut. Inilah yang aku temukan dari tulisan orang-orang shaleh.” Selanjutnya, disebutkan pula beberada doa yang dia ajarkan. (Kanzun Najah, hlm. 49)
Di antara amalan yang dianjurkan pada Rebo Wekasan itu adalah mengerjakan shalat empat raka’at dengan satu kali salam, dalam rangka tolak balak. Shalat ini dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah terbit matahari. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali, Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca surat Yusuf ayat 21 yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Ayat ini dibaca sebanyak 360 kali.
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan memberikan sedekah makanan kepada fakir miskin. Bahkan ada pula yang membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Mereka berkeyakinan, siapa yang melakukan ritual tersebut pada rebo wekasan, dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.
BACA JUGA: Soal Rebo Wekasan, Ini Penjelasan PBNU
Bagaimana pandangan Islam tentang Rebo Wekasan?
Rebo Wekasan (rebo pungkasan) dalam bahasa Jawa, ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ atau ‘pungkasan’ artinya terakhir. Istilah Rebo Wekasan ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Safar.
Sebagian orang berkeyakinan bahwa setiap tahun akan turun 320.000 balak, musibah, atau bencana, dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, pun sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”
Hadits ini bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:
“Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).
Maksud hadits laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Hanya Allah lah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Waktu, zaman atau masa tidak menjadi penentu takdir buruk dan takdir baik.
BACA JUGA: Fakta Rebo Wekasan adalah Hari Berkah
Muslim mengmani qada dan qadar. Muslim juga menyakini bahwa rujukan syariat yang paling utama adalah Al-Quran dan hadis. Itulah yang seharusnya jadi pedoman dalam menyikapi fenomena Rebo Wekasan ini.
Tidak ada nash Alquran ataupun hadis shahih yang terkait ataupun menguatkan ritual Rebo Wekasan. Sebaliknya, itu bahkan bertentangan dengan larangan mempercayai ramalan seperti disebutkan dalam hadis di atas.
Dikutip dari Islam.nu.or.id., Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar berpendapat tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan tersebut, “Nahas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga nahas bagi orang lain … artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.”
Sedangkan terkait ritual Rebo Wekasan, Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal itu. Berikut jawabannya:
“Amalan (Rebo Wekasan) seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, tidak kami jumpai dalilnya dalam Alquran dan sunah. Tidak juga kami ketahui bahwa ada salah satu ulama masa silam dan generasi setelahnya yang mengamalkan ritual ini.”
BACA JUGA: Hukum Rebo Wekasan dan Shalat Sunnah Tolak Bala di Bulan Safar
Sementara mengenai amalan-amalan Rebo Wekasan tersebut di atas, KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang mengatakan, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat:
- Tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shafar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
- Tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’. Ada anjuran dari sebagian ulama tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
- Tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’il bala’ al-makhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (shalat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH | ISLAM.NU.OR.ID