PERNAHKAH kamu mendengar istilah nikah mutah? Nikah mutah juga sering disebut dengan kawin kontrak. Praktik terlarang dalam Islam ini ternyata masih saja marak terjadi di masyarakat Indonesia. Padahal, kawin kontrak seperti ini sudah dilarang selamanya.
Mengutip laman Republika, dalam suatu riwayat, praktik ini memang pernah diperbolehkan, namun kemudian dilarang untuk selama-lamanya.
Ketika masa pembebasan kota Makkah, Nabi Muhammad SAW pernah mengizinkan pria yang berperang bersamanya untuk melakukan nikah mutah. Tidak lain karena mereka sedang jauh dari istri dan Nabi melarang mereka untuk mengebiri diri sendiri untik menahan hawa nafsu.
BACA JUGA: 7 Kewajiban Anak Laki-laki kepada Ibu Setelah Menikah
Nikah Mutah, Apa Hukumnya?
Namun setelah perang usai, Nabi pun mengharamkan hal tersebut, kisah ini telah diriwayatkan dalam riwayat Muslim:
حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ أَنَّ أَبَاهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتْحَ مَكَّةَ قَالَ فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ ثَلَاثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ فَأَذِنَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَخَرَجْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنْ قَوْمِي وَلِي عَلَيْهِ فَضْلٌ فِي الْجَمَالِ وَهُوَ قَرِيبٌ مِنْ الدَّمَامَةِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا بُرْدٌ فَبُرْدِي خَلَقٌ وَأَمَّا بُرْدُ ابْنِ عَمِّي فَبُرْدٌ جَدِيدٌ
غَضٌّ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِأَسْفَلِ مَكَّةَ أَوْ بِأَعْلَاهَا فَتَلَقَّتْنَا فَتَاةٌ مِثْلُ الْبَكْرَةِ الْعَنَطْنَطَةِ فَقُلْنَا هَلْ لَكِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْكِ أَحَدُنَا قَالَتْ وَمَاذَا تَبْذُلَانِ فَنَشَرَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَّا بُرْدَهُ فَجَعَلَتْ تَنْظُرُ إِلَى الرَّجُلَيْنِ وَيَرَاهَا صَاحِبِي تَنْظُرُ إِلَى عِطْفِهَا فَقَالَ إِنَّ بُرْدَ هَذَا خَلَقٌ وَبُرْدِي جَدِيدٌ غَضٌّ فَتَقُولُ بُرْدُ هَذَا لَا بَأْسَ بِهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Umarah bin Ghaziyyah dari Ar Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya pernah ikut perang fathu Makkah bersama Rasulullah SAW, dia berkata, “Kami tinggal di Makkah selama lima belas hari dan malam, lantas Rasulullah SAW memberikan izin kepada kami melakukan nikah mutah.
Lalu saya bersama seorang dari kaumku pergi mencari seorang wanita untuk kami nikahi secara mutah, saya lebih tampan dari saudaraku yang memang dia agak jelek daripadaku.
Masing-masing dari kami membawa kain baju (untuk mas kawin); tetapi baju telah usang, sedangkan baju sepupuku masih baru dan halus. Sesampainya kami di bawah kota Makkah atau di atasnya, kami bertemu seorang wanita muda yang cantik dan berleher panjang.
Lantas kami bertanya kepadanya, “Maukah kamu menerima salah satu dari kami untuk kawin mutah denganmu?” Dia menjawab, “Apa ganti (maskawin) yang akan kalian berikan?”
Lalu masing-masing dari kami memperlihatkan baju yang telah kami siapkan sebelumnya, sementara itu, wanita tersebut sedang memperhatikan kami berdua, saudara sepupuku melihat kepadanya sambil berkata, “Sesungguhnya baju yang ini sudah usang, sedangkan bajuku masih bagus dan halus.”
Wanita tersebut berkata, “Baju usang ini juga tak masalah.” Dia mengatakannya sampai tiga kali atau dua kali. Kemudian saya nikah mutah dengannya. Saya tidak keluar dari (Makkah) sehingga Rasulullah SAW mengharamkannya (untuk selamanya).”
Nikah Mutah, Apa Hukumnya?
Mengapa nikah mutah pernah diperbolehkan? Jawabannya adalah karena, saat itu masyarakat Islam masih dalam masa transisi dari zaman jahiliyah (kebodohan) kepada Islam. Akan tetapi, Rasulullah SAW kemudian melarang praktik nikah mutah.
Hal ini juga ditegaskan dalam Fathul Bari, Ibnu hajar Al Asqalani menjelaskan, bahwa pernikahan mutah praktiknya seperti nikah kontrak, yang mana hukum kebolehannya sudah termansukh atau terhapus.
Dari Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mutah. Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim).
Karena itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun sepakat bahwa nikah mutaah hukumnya haram dan memasukannya dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan, pelaku nikah disamakan dengan pezina.
Sahabat Nabi SAW, Umar bin Khattab, menganggap nikah mut’ah sebagai sebuah kemungkaran. Selain itu, pelakunya diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.
Di zaman sekarang, nikah mut’ah semakin jelas akan keharamannya. Sebab, ditinjau dari perspektif rukunnya, nikah mutah dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan pembatasan masa nikah. Ini yang menjadikannya tidak sah.
Kalau pun ada saksi dan wali, tidak jarang para pelakunya adalah palsu. Professor Quraish Shihab mengatakan, bahwa nikah mut’ah tidak sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu pernikahan tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.
Nikah Mutah, Apa Hukumnya?
BACA JUGA: 2 Hal Suami Istri dalam Pernikahan
Kendati demikian, ia menyebut bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ulama Sunni dan Syiah terkait nikah mut’ah ini. Dalih bahwa Umar bin Khattab lah yang melarang nikah mut’ah dijadikan pegangan oleh ulama Syiah untuk membolehkan nikah mut’ah.
Sementara ulama Sunni melarang nikah mut’ah, namun tetap membedakannya dengan perzinahan. Akan tetapi, Quraish Shihab juga menyebut tidak sedikit ulama Syiah yang tidak menganjurkan mut’ah, karena dapat merugikan kaum wanita.
Di Indonesia, Dewan Pimpinan MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak Sejak 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut’ah hukumnya haram. []