2005. Ada seorang anak laki-laki, usia sekitar 14 tahun-an, jelang usia emas, hebat banget main sepakbola. Rumahnya, hanya sebelahan sama stadion. Setiap sore, kami melihatnya bermain. Dia seperti Messi. Dan Ronaldo. Dia gesit, liat, kuat.
Bahkan, untuk ukuran kota kecil kami, bakat sepakbola yang diberikan Allah SWT kepadanya adalah sebuah anugerah besar. Saya pikir, dengan kemampuannya yang di atas rata-rata, ia bisa bermain di Liga paling top di Indonesia.
Atau masuk Persib. Kalau kamu orang Purwakarta, terus kamu bisa masuk Persib, bisa tumplek seisi kota kalau kamu main di Purnawarman. Tapi jangankan masuk Persib, masuk Persipo aja nggak.
BACA JUGA: Pep dan Zlatan Ibrahimovic
Tapi (begitulah, hidup selalu mengenal kata “tapi”), ia mati dibunuh dirinya sendiri. Anak ini ga sopan. Kok, tau darimana dia ga sopan?
Kalau main, dia ga segan berkata kasar kepada lawan. Sering banget humiliating juga. Tahun 2013, saya pernah main futsal sama dia saat tempat kerja kami tanding dengan tempat kerjanya.
15 pertama dia berada di lapangan, dan skill-nya sama sekali ga berubah, tetap masih banyak nyetak gol, tapi dia menghadapi kami dengan sambil telefon2an ke pacarnya.
Kakak saya, seorang wasit Liga dan juga coach SSB, mengatakan, “Anak-anak seperti ini, seberapa pun hebatnya dia bermain bola, tak akan pernah bisa mendapat tempat di tim manapun.”
Sepakbola sekarang ini ga sama lagi dengan 20 atau 30 tahun lalu. Siapapun yang muda dan punya bakat, bisa hidup dari sini, dengan sangat layak.
Tapi di atas semua itu, sportmanship adalah segalanya. Atittude itu tetap nomor satu, membawahi semua bakat dan kerja keras kamu.
BACA JUGA: Mengapa Aku?
Seriuslah hidup dengan apa yang kau sukai, dan dengan apa yang kau kerjakan.
Juaralah, Garuda. []