Oleh: Hendriyan Rayhan
Alumni Ma’had Khairul Bariyyah
rayhanmuslim@gmail.com
Barangkali agak berlebihan jika saya menyebut kata cemburu. KBBI memaknai cemburu sebagai rasa kurang senang melihat orang lain beruntung. Akan tetapi dalam hal ini sebenarnya cemburu saya lebih kepada keinginan menjadi dia, si anjing itu. Meskipun secara umum –bagi umat islam—anjing sering diidentikan dengan konotasi negatif serta kehinaan. Apalagi ketika berbicara seputar bab thaharah, maka pembahasan najis mughaladzah (kategori berat) cenderung dicontohkan dengan liur anjing yang mesti disucikan tujuh kali.
Belum sampai di situ, al-Qur’an dalam surat al-A’raf [7] ayat 176 menjadikan anjing sebagai amtsal (perumpamaan). Yaitu perumpamaan bagi orang yang cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka ini diumpamakan dengan anjing yang jika dihalau ia mengulurkan lidahnya, jika dibiarkan juga tetap mengulurkan lidahnya. Semakin bertambahlah kehinaan anjing ini karena menjadi perumpamaan bagi manusia yang hina. Lantas, mengapa saya cemburu pada anjing?
Jadi begini ceritanya, saat saya mencari kata kunci ‘anjing’ dalam terjemahan al-Qur’an, ternyata ada di tiga tempat. Satu ayat menyebut anjing dalam posisi terhina, yaitu pada surat al-A’raf ayat 176 yang telah disinggung di atas. Dua ayat lainnya–sepertinya—menyebut anjing dalam posisi mulia, yaitu pada ayat ke 18 dan 22 dari surat al-Kahfi [18].
Hebatnya, kisah si anjing—dalam posisi mulia ini—bahkan tidak seperti kisah burung ababil yang jelas kontribusinya, yaitu melemparkan batu kepada pasukan bergajah (lih. Surat al-Fiil [105]: 1-5), ataupun kisah hewan-hewan lainnya. Coba kita perhatikan bagaimana al-Qur’an mengisahkan si anjing ini:
“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.” (Al-Kahfi [18]: 18)
Nah, coba perhatikan lagi. Anjing itu hanya mengunjurkan (berselonjor) kedua lengan—kaki depan—nya di muka pintu gua. Hanya melakukan hal sepele begitu, namun diabadikan dalam al-Qur’an. Perbuatan yang sekilas tampak tidak penting, bahkan kita pun—sebagai manusia—sering melakukannya setiap hari. Ketika kita mengunjurkan kaki (atau lengan), adakah koran yang berminat memuatnya sebagai berita? Bahkan, perbuatan yang jauh lebih bermutu dari itu pun belum tentu ada yang berminat mendokumentasikannya.
Apa yang membuatnya istimewa? Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyebutkan bahwa anjing yang mengunjurkan kaki depannya itu sebagai isyarat bahwa ia tidak mati. Anjing itu berperan sebagai penjaga, sehingga membuat orang takut untuk mendekati gua itu karena ada anjing galak di pintu gua. Nah, anjing galak pun ketika berpihak pada kebenaran akan menjadi istimewa. Di sini saya cemburu atas keberpihakan anjing ittu pada kebenaran. Meskipun, sebagaimana dituturkan Buya Hamka, ini sudah disediakan Allah.
Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa anjing mereka berlutut, sehingga tertidur seperti mereka. Inilah hikmah mengikuti kebaikan, sehingga anjing itu disebut dan diceritakan. Selanjutnya pada surat al-Kahfi ini kembali disebut kata anjing (kalb) pada ayat 22. Berikut terjemahan dari ayat tersebut: “Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjingnya”, sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah mereka) tujuh orang, dan yang kedelapan adalah anjingnya”. Katakanlah: “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit”. Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi [18]: 22)
Tafsir al-Misbah menyebut bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang berselisih tentang jumlah mereka. Maka Prof. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya ini, menyatakan sementara ulama memperoleh kesan bahwa jumlah mereka adalah tujuh orang, delapan dengan anjingnya. Ini karena dua ucapan sebelumnya yang mengatakan mereka tiga orang (empat dengan anjingnya) dan lima orang (enam dengan anjingnya) diiringi dengan kalimat ‘sebagai terkaan terhadap barang yang gaib’. Sementara ucapan ini (tujuh orang, delapan dengan anjingnya) dipisahkan dari dua ucapan sebelumnya. Ini mengesankan bahwa ucapan ketiga bukan menerka-nerka. Namun, di tempat lain Buya Hamka menyatakan penaksiran ahli tafsir itu belum juga dapat dijadikan kepastian.
Maksud penyebutan anjing mereka bersama mereka, menurut Dr. Shaleh al-Khalidy, karena ia dipilih untuk menjaga mereka. Anjing itu mendapat berkah dan kenikmatan karena membersamai para pemuda, sehingga ia disebut bersama mereka sebagai pengkhususan dan penghormatan.
Imam al-Qurthubi juga berkata, “Kalau ada anjing yang memperoleh derajat setinggi ini, karena menemani dan mengiringi orang-orang yang saleh dan para wali, sehingga Allah SWT menyebut ia dalam al-Qur’an. Lalu bagaimana kedudukan orang mukmin yang mendekatkan diri, bergaul, dan mencintai para wali dan orang saleh?
Tentu lebih dari itu. Ini merupakan kesenangan dan hiburan bagi orang-orang mukmin yang mendaki jalan kesempurnaan dan mencintai Rasulullah saw.”
Maka, cemburu kepada anjing ini diiringi dengan usaha menempuh jalan yang pernah dilaluinya, yaitu berpihak kepada kebenaran dan berhimpun bersama mereka. Kiranya hal tersebut dapat menguatkan iman serta meninggikan derajat di sisi Allah SWT. Aku cemburu padamu, wahai para pelaku kebaikan dan pendukungnya.
Wallahu a’lam. []