Oleh: Maya A
Kedamean, Gresik
mayafirrizky4@gmail.com
Gadget – teknologi informasi – bukan lagi barang yang dianggap wah. Perkembangan jaman yang semakin modern, mau tidak mau memaksa manusia untuk memilikinya demi kemudahan transaksi, komunikasi, dan pencarian informasi. Namun sayang, sisi negatif seringkali mengiringi barang multifungsi tersebut. Bukan dari perspektif bendanya, melainkan dari sisi manusia sebagai subjek atau pelaku utama tindak penyelewengan.
Ini bisa dibuktikan dengan maraknya pemberitaan ragam tindak kriminal di media, baik kelas teri maupun kelas kakap.
Salah satu kasus yang paling menyedot perhatian publik baru baru ini adalah pembobolan jual beli tiket online milik PT. Global Networking. Milyaran rupiah raib, masuk secara ilegal ke kantong oknum tidak bertanggungjawab. Dan siapa sangka bahwa otak dibalik semua itu adalah remaja 19 tahun yang hanya lulusan SMP.
Tidak hanya itu, Direktorat Cyber Bareskrim Polri menambahkan sudah 4600 situs berhasil diretas oleh pelaku, termasuk situs milik polri sendiri, pemda dan pemkot. Atas tindakannya itu, pelaku terancam hukuman paling lama 8 tahun penjara.
Diakui atau tidak, letak permasalahan ini sebenarnya ada pada SDM. Baik pelaku, orangtua maupun pemerintah sebagai poros pengontrol. Dalam artian arus teknologi kian dikembangkan, namun tidak diiringi penanaman nilai dasar pemanfaatan secara benar. Sehingga ketika seseorang melihat peluang bernilai nominal, ia tidak berpikir dua kali untuk mengambil celah itu. Lemahnya sistem pendidikan tentang perbaikan moral dan hanya berfokus pada prestasi akademis juga menambah daftar faktor meningkatnya kejahatan berbasis teknologi.
Tidak hanya itu, sulitnya mencari lapangan kerja serta himpitan ekonomi di jaman yang serba mahal ini tidak menutup kemungkinan seseorang bertindak nekat mengingat teknologi bukanlah hal yang susah untuk dipelajari.
Tidak perlu lulusan sarjana, karena Haikal yang notabene lulusan SMP pun nyatanya mampu menjadi seorang hacker.
Parahnya lagi, sejauh ini pemerintah selalu memfokuskan diri pada penetapan sanksi terhadap kasus apapun. Bukan pada tindakan preventif atau pencegahan. Padahal seharusnya, keduanya (sanksi dan pencegahan) harus berjalan beriringan untuk menghasilkan solusi yang bersifat global.
Kalau tidak, maka bukan perkara mustahil jika kasus yang sama akan berulang. Para hacker yang masih bebas akan bersinergi satu sama lain dan bekerja dengan lebih teliti. Semakin mendalami ilmu peretasan dengan tujuan berkelit, menyembunyikan identitas secara rapi agar tidak tercium aparat.
Adapun tindakan preventif yang paling tepat adalah koreksi mendasar dan besar besaran pada kurikulum pendidikan. Edukasi harus berasaskan pada Islam agar selaras dengan perkembangan jaman. Menjadikannya pijakan atas benar tidaknya suatu perbuatan. Poin inilah yang seharusnya ditanamkan pada peserta didik sejak level dasar.
Penataan sistem ekonomi pun juga perlu dilakukan. Karena diakui atau tidak, sebagian besar tindak kejahatan di negeri ini didorong oleh motif ekonomi. Bukankah jika tata kelola keuangan dan distribusi kekayaan hasil bumi benar benar sesuai dengan aturan islam, kesejahteraan bisa tercapai? Dan jika kesejahteraan sudah tercapai, bukankah angka kriminalitas dengan sendirinya bisa diminimalisir? []