DALAM sebuah riwayat, Sayidina Al-Imam Malik bin Anas (Mālik ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi), penggagas Mahdzab Maliki lahir di Madinah pada tahun 714 M atau 93 H. Beliau yang merupakan pakar ilmu fiqh dan hadits meninggal pada tahun 800 M atau 179 H.
Suatu waktu di bulan Ramadhan saat berbuka puasa, beliau menangis. Menitikkan air mata hingga janggutnya basah karenanya. Salah seorang muridnya bertanya,
“Wahai guruku yang mulia, kenapa engkau menangis sedemikian rupa? Tangismu menyayat hati kami? Apakah di antara kami ada yang menyebabkan engkau bersedih, atau apakah hidangan ini kurang berkenan?”
“Tidak. Tidak wahai murid-muridku. Kalian adalah murid-murid terbaik, sangat khidmat padaku. Bahkan hidangan ini teramat nikmat buatku,” jawab Imam Malik.
“Jika demikian, kenapakah wahai guru kami yang tercinta?” murid Imam Malik kembali bertanya, penasaran.
“Suatu ketika aku pernah berbuka puasa dengan guruku (Sayidina Al-Imam Ja’far As-shodiq), cucu baginda Rasulullah SAW. Ketika berhadapan dengan hidangan yang begitu nikmat layaknya makanan saat ini, Beliau berisak tangis,
“Wahai Ibnu Anas ketahuilah bahwa Rasulullah terkadang berbuka hanya dengan 3 buah kurma dan air saja, namun Beliau sangat menikmatinya dengan penuh syukur. Bahkan seringkali Rasulullah hanya berbuka dengan sebutir kurma yang dibagi dengan Aisyah, tapi sungguh Beliau merasa sangatlah nikmat. Beliau menyedikitkan santap sahur dan berbuka, tapi sebaliknya sangatlah banyak dalam beribadah dan bersyukur. Pun Beliau senantiasa mendo’akan kita sebagai umatnya yang padahal selalu abai kepada-nya.”
Lalu Imam Malik berkata “Hari ini, kita dipenuhi makanan penuh nikmat. Namun kita sangat-sangatlah jauh dari ibadah dan rasa syukur!”
“Dan tahukah kalian, setelah beliau menceritakan ihwal berbuka Rasulullah, ia seketika tak siuman karena berat hati mengenang Rasulullah SAW.”
Tak lama ruangan tersebut menjadi penuh haru, isak tangis penuh kerinduan mengumandang kepada Rasulullah.
Allah. Allah. Ya Rasulullah. []
*disarikan dari ahlulbaitrasulullah.