ADA satu komentar menggelitik sekaligus membuat saya sedikit tertegun di status yang saya buat tempohari (Cerita Puasa Dari Norwegia).
Begini redaksinya, “Islam itu agama yang gak berlaku untuk daerah kutub dan mungkin juga sub kutub…”
Saya kurang paham apa yang beliau maksud “sub kutub”. Tapi yang bisa saya asumsikan, beliau ini sebetulnya juga nggak yakin akan argumennya sendiri tentang “ketidakberlakuan Islam untuk kedua wilayah bumi tadi.”
Seketika bayangan saya melayang pada tiga masjid yang lokasinya betul-betul di puncak dunia alias di kutub utara, lebih tepatnya di Lingkaran Kutub (Arctic Circle).
Nurd Kamal Mosque di Norilsk, Siberia (Rusia), lalu Alnor Senter di Tromsø (Norwegia), dan masjid kecil berjuluk “The Little Mosque of Tundra” di Inuvik, Canada’s Northwest Territories.
Ketiganya punya komunitas muslim yang mencukupi sehingga mereka bisa punya tempat ibadah publik.
Bagaimana mereka salat dan berpuasa di waktu-waktu ekstrem seperti musim panas dan musim dingin?
Kalau betul agama Islam tidak berlaku bagi saudara-saudara muslim kita ini, lalu mereka berpegang pada agama apa? Tentu kasihan sekali.
Padahal Islam itu turun melalui Nabi Muhammad salallaahu ‘alayhi wassalam bagi semua umat manusia di seluruh dunia, tanpa memandang sekat tempat maupun waktu. Ajaran Islam itu mencakup semua aspek kehidupan sepanjang dunia ini berputar. Tak ada yang luput, jika kita mau berpikir.
Allah mengatur dunia yang bulat ini dengan karakteristik tempat dan waktu yang berbeda-beda untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Sekali lagi, tentu agar manusia mau berpikir bahwa bumi ini beragam dan ada ciri khas masing-masing.
Daerah khatulistiwa jelas beda dengan daerah subtropis. Flora, fauna, dan temperaturnya saja sudah beda. Kalau kita melihat perbedaan waktu tiap negara di dunia ini, sungguh maa syaa Allah, menakjubkan! Setiap detik, menit, dan jam bisa punya efek perbedaan yang signifikan di tiap tempat.
Bagi kaum muslim, perbedaan itu tampak paling jelas di persoalan salat dan puasa (Ramadan). Kami yang tinggal di belahan bumi utara ini bisa merasakan puasa hanya 7 jam di puncak musim dingin, atau sebaliknya hingga 22 jam di puncak musim panas.
Bisa sangat ringan atau justru sangat berat, tapi begitulah konsekuensi hidup di “ujung” dunia.
Di sinilah pentingnya ijtima’ dan qiyas para ulama. Mereka yang ilmu Islamnya mumpuni ini bisa mempertimbangkan dan menerbitkan fatwa yang berlaku di suatu wilayah khusus untuk hal-hal tertentu dan untuk waktu khusus pula. Di Amerika, Australia, dan Eropa ada semacam dewan ulama seperti ini.
Di Norwegia kami punya Islamsk RÃ¥d Norge (Majelis Islam Norwegia).
Menurut salah satu fatwa IRN, saat musim panas umat Islam di Norwegia boleh berpuasa sesuai pergerakan matahari, ATAU mengikuti durasi puasa kota / negara terdekat yang lebih sebentar puasanya (ini berlaku bagi daerah yang mataharinya bersinar lebih dari 20 jam), ATAU ikut jadwal Mekkah, ATAU membagi hari menjadi 3 bagian (jadi puasanya sekitar 16 jam), ATAU jadwal puasa tetap sepanjang Ramadan yang “membekukan” waktu terbenamnya matahari selama musim panas.
Hitungan yang terakhir ini berlaku juga untuk jadwal waktu salat mulai akhir Mei – akhir Juli. Setelah itu, jadwal salat kembali normal sesuai rotasi matahari.
Fatwa ini tentu tidak dikeluarkan begitu saja. Ada hitung-hitungan yang rumit tapi bisa dipahami.
Banyaknya opsi yang meringankan itu sebenarnya sesuai dengan prinsip Islam yang terkandung di Alquran, yaitu Allah tidak membebani hamba-Nya melebihi kemampuan mereka (QS 2:286), dan Allah tidak menjadikan dalam agama suatu kesempitan (QS 22:78).
Tinggal kita umat muslim yang harus bisa memanfaatkan segala kemudahan yang ada dalam agama ini untuk semakin bersemangat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Islam itu universal dan rahmat bagi seluruh alam. Saya yakin kedua nilai itu tidak perlu diragukan apalagi diingkari.
Wallaahu a’lam bishshawwab. []