Oleh : Kayla Mubara
AKU di bawah gubug Mbah Dulah ketika bapak bersama segerombolan orang yang tidak kukenal. Setelah menutupi seluruh tubuh dengan jerami kering, aku leluasa melihat mereka. Emak selalu berpesan, “Nek kowe weruh bapak, aja diceluk.”
Emak pun pernah bilang bahwa bapak anggota DI/TII dan aku hanya mendengar penjelasannya tanpa tanya. Aku dilarang memanggil atau pun ikut bapak di mana pun menemuinya. Ah, sungguh betapa kangen sekali mengaji turutan dengan bapak.
“Kie diwaca da, nah sijine dza.”
Aku selalu melakukan keleliruan pada dua huruf hijaiyah itu. Biasanya kedua mata bapak melebar, napasnya mulai memburu. Tuding yang tadinya untuk menunjuk huruf, berbalik arah menunjuk keningku.
“Kie dienggo.”
Ah, bapak. Aku disuruh memakai otak, padahal sungguh susah lidah ini mengucapkan dua huruf itu. Sekarang, aku sudah bisa melafalkannya dengan baik, ingin kuberi tahu bapak, tapi entah kapan.
Bapak dan orang-orang itu sudah pergi, aku menyeruak dari balik jerami. Setelah melihat jalan sepi, kaki ini berlari menerobos setapak tepi kali menuju jalan ke rumah. Mata hari mulai bergeser ke kaki langit sebelah barat. Warna-warni ini pertanda jin-jin berterbangan, kata emak.
Seekor babi hutan lewat, aku menepi. Bapak pernah bilang bahwa mereka melintas jalan berdasar urutan usia. Jangan sekali-kali lewat sebelum induknya lewat, itu berbahaya. Satu, dua, tiga … Setelah lima ekor babi hutan menyeberang. Aku masih menunggu, sepi. dua kaki kecil ini kembali berlari hingga pelataran rumah.
“Koe kang ngendi, Cah?” Suara Mbah Dulah mengejutkanku, padahal beliau hanya bertanya aku dari mana?
“Saking sabin, Mbah.” Aku memang baru dari sawah. Sebenarnya tadi asyik mengikuti anak kera yang tersesat. Ketika ia menemukan induknya, aku terjebak menunggu orang-orang berwajah sangar dan bapak lewat.
***
SEJAK ada ribut-ribut, aku tidak berangkat ke surau. Emak bilang demi keselamatan. Seperti sekarang, aku sudah membuka turutan butut hadiah dari Mbah Dulah. Emak sibuk membungkus sesuatu.
“Koe ngaji karo Simbah, ya, Cah?” Mbah Dulah akan mengajariku mengaji. Aku berbinar. Biasanya Mbah Dulah tidak akan marah meski pun aku banyak salah mengeja huruf.
“Dal fathah Da. Dal kasroh Di. Dal Dhommah Du. Da-di-du.” Mbah Dulah tersenyum. Beliau mengangguk sambil mengelus jenggotnya. Ah, baru saja aku mau pamer dengan Mbah Dulah kalau aku sudah bisa mengucapkan huruf Dza dengan benar.
“Teploke di sidem!” Dari luar terdengar peringatan agar mematikan lampu minyak. Tangan Emak menarik tanganku, Mbah Dulah segera masuk ke kolong meja. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Emak menyuruhku tiarap di bawah tempat tidur. Terdengar pintu dapur diketuk.
“Mak … Mak, bukakna lawang.” Seseorang minta dibukakan pintu. Aku mengenali suara itu. Bapak?
“Mak, itu bapak, Mak.” Aku mengguncang-guncang genggaman tangan Emak. Beliau melonggarkan genggaman.
“Kamu tunggu di sini, biar Emak yang akan menemuinya.”
Aku ingin sekali ikut, tapi Kiai Surau bilang surga ada di telapak kaki emak, maka kutahan keinginan itu. Kepala ini sedikit menyembul dari bawah tempat tidur, dua mataku bisa mengintip ke dapur dari celah pintu.
“Mak, Bapak hanya pulang sebentar. Baju-baju sudah disiapkan?” Aku tak dapat melihat wajah Bapak. Terdengar suara korek api spirtus, sebias cahaya mulai menerangi ruangan. Aku melihat punggung bapak, beliau memakai rompi cokelat.
“Mas … Mad Fatih kangen karo sampeyan.” Emak menyampaikan rinduku pada sosok tegap berrambut sebahu itu. Aku lupa dengan wejangan Kiai Surau. Aku berdiri, melangkah, mendekati mereka tanpa suara. Terdengar tepukan tangan dari luar. Sepertinya itu sebuah sandi.
“Aku berangkat, Mak. Jaga anak kita. Ini jihad.”
Apa pula itu jihad? Dan kenapa jihad harus meninggalkan rumah.
“Pak!” panggilku serak. Bapak menoleh sebentar, aku memeluknya dalam tangis.
“Bapak akan memberimu hadiah turutan kalau kamu sudah bisa membaca Dal dan Dzal dengan baik,” beliau mengecup keningku kuat, mendekap beberapa detik. Lalu ke luar menerobos gelapnya malam.
“A-ku su-dah bi-sa, Pak.”
Hanya emak yang mendengar jawabanku. Mbah Dulah terbatuk, sepertinya beliau sudah ke luar dari bawah kolong meja. Suara jangkrik melagukan perpisahan.
***
EMAK menumbuk padi dalam lesung. Sudah dua hari beliau memakai kebaya krem dengan kupu baru dan kain jarik motif parang. Semua itu hadiah bapak. Aku pikir bukan karena baju ganti emak habis, tapi sebenarnya emak juga rindu pada bapak. Sebulan sudah mereka berpisah dan baru bertemu malam itu, sekejap.
Gelung rambut emak lepas. Keringat mengucur deras. Wajahnya tampak lelah. Beliau melihatku yang dari tadi duduk termangu di atas tunggak kayu mahoni.
“Dul, Emak minta tolong ambilkan tangga di belakang rumah.” Senyum emak selalu tak pernah berkurang takarannya. Dalam segala keadaan, beliau selalu lebih banyak tersenyum dibanding bersuram wajah.
Aku segera beranjak menuju tangga bambu rakitan bapak. Tangga nomor dua sudah patah, artinya siapa pun yang memanjat akan langsung lompat, dari tangga pertama ke tangga ketiga.
“Galahnya juga, ya, Dul?” Aku meletakkan tangga di batang pohon kelapa gading, mengambil galah bambu di samping rumah. Kalau ada bapak, emak tak perlu alat-alat itu hanya sekadar mengambil kelapa muda. Bapak akan memanjat pohon kelapa hijau, bukan kelapa gading.
“Siapkan rantang sama sendok, Nak.” Emak langsung naik tangga, beliau berhenti pada undakan keempat.
“Waduh. cengkir, Dul.” Emak tampak kecewa karena galahan pertama menjatuhkan cengkir, bakal kelapa muda.
“Alhamdulillah, ini degan.” Akhirnya ada tiga buah kelapa muda sudah berada di atas tanah. Kok tiga? Kan tidak ada bapak. Biasanya kalau memetik tiga kelapa muda maka aku berdua sama emak, satu untuk bapak dan lainnya untuk Mbah Dulah.
“Yang satu untuk siapa, Mak?” Aku tak dapat menahan penasaran.
“Buat Bapak. Beliau kan paling suka dengan kelapa muda.” Aku menatap dua mata emak. Tiba-tiba pipi beliau memerah, dua kaca bening di korneanya agak basah. Aku diam. Kentongan zuhur terdengar mengalihkan fokus kami.
“Dul, wis wayaeh sembahyang. Ayo wudhu!” Emak membawa tiga buah kelapa muda dengan menyatukan sedetan tepes lalu mengikatnya. Aku membereskan bedog, galah dan tangga. Mungkin selepas zuhur kami baru akan menikmati kelapa muda itu.
***
AKU sering mengintip orang-orang tegap itu dari balik rumpun rumput gajah. Gigitan nyamuk dan semut tak membuatku mundur. Mereka tampak gagah. Biasanya bila kentongan ashar berbunyi, beberapa saat sesudahnya orang-orang berotot itu lewat.
“Wayaeh tentara lewat.” Mbah Dulah bilang mereka tentara. Apakah anak sepertiku bisa jadi tentara?
“Bapakmu kae mungsueh tentara!” Aku ingat kalimat yang diucapkan teman ngaji ini. Dia bilang bahwa bapak musuhnya tentara. Lalu bila aku ingin menjadi tentara, berarti aku akan menjadi musuh bapak? Tidak! Aku bukan anak durhaka.
“Dul Fatiih!” Panggilan Emak melingsirkan lamunan. Aku segera menghambur dalam patuh. Bajuku tersangkut duri pohon jeruk nipis. Ah, kenapa juga pohon buah kecut ini malah mengingatkanku pada bapak.
“Kalau pulang dari sawah, cuci tangan dan kaki dengan air jeruk nipis. Kamu akan selalu bersih.” Begitu kira-kira nasihatnya.
Sementara emak sering mencampurkan dengan abu untuk mencuci gerabah.
“Duul?”
“Iya, Mak. Tunggu sebentar.” Aku membuang duri yang tersangkut di baju.
“Dul, kita sembahyang, lalu do’akan bapak, ya?” Wajah emak tampak cemas. Mbah Dulah sedang mendengar siaran radio.
Telinganya ditempelkan dengan radio besar itu.
“Tentara mulai melakukan penangkapan lagi, Kinah.” Mbah Dulah mengulang-ulang kalimat itu. Aku hanya mengangguk pada emak dan menebak-nebak apa yang dimaksud oleh Mbah Dulah.
Hujan turun, kampung Gendek mulai sepi. Aku menatap panah-panah bening dari balik jendela. Tangan emak memegang pundakku. Senyumnya seperti mencemaskan sesuatu.
“Dul, katanya kalau kita berdo’a saat hujan, do’a kita mustajab.” Emak mengusap pipiku.
“Kita berdo’a untuk keselamatan Bapak, Mak?”
Emak menatapku, mengangguk perlahan.
“Tutup pintu dan jendela, Kinah. Hujan tambah deras.” Mbah Dulah mengingatkan. Tanganku menarik papan dan menutup jendela. baru saja tertutup separuh, sesosok bayangan berlari menembus hujan. Mendekat. Bapak?
Mungkin bapak teramat lelah, beliau langsung tidur setelah emak menyuguhkan singkong rebus hangat. “Kita tidur dan padamkan damar,” pesan bapak agar kami memadamkan lampu minyak saat tidur.
Aku hanya tahu satu hal bila lampu dipadamkan lebih sering. Keadaan kampung sedang tidak aman. Entah karena ada para pemberontak, pencuri, garong atau pocong yang melancong. Dan yang terakhir hanya obrolanku dengan teman-teman sepermainan.
Usia mereka tujuh tahun, dan aku satu tahun di bawahnya.
Mbah Dulah sudah mendengkur. Suaranya paling keras di antara jangkrik, tonggeret dan orong-orong. Di luar suara katak bernyanyi, mungkin lagu indah seindah kepulangan bapak hari ini.
***
“AJA menek glugu, Mad. Kiye wayaeh tentara lewat.” Mbah Dulah mencegah bapak yang bersiap memanjat pohon kelapa. Sudah lama aku tidak minum air kelapa muda hijau. Meski mendung, akan tetap segar bila dicampur gula jawa.
Aku sedang di kakus. Suara tembakan bertubi-tubi menghentikan hajatku. Emak berteriak memanggil bapak. Aku berdiri, berlari mendekat dengan celana kolor masih di atas lutut.
Orang-orang berbadan tegap memberondong tubuh bapak dengan peluru. Aku lemas. Seketika keinginan jadi tentara lenyap ditelan luka. “Jangan mendekat. Tunggu mereka pergi!” Mbah dulah menggenggam pergelanganku kuat. Emak tersungkur. Beberapa orang memapah, membaringkannya di atas lincak.
Kulihat bapak tidak bergerak. Tubuhnya bersandar di pelepah yang hijau. Seorang menyiapkan tali dan satu lagi memanjat. Setelah bapak sampai ke tanah dan orang-orang kekar bersenjata itu pergi, aku mendekat.
“Dul? Mungkin ini untukmu.” Sebuah turutan koyak disodorkan Mbah Dulah. Aku tergugu. Dengan tangan gemetar kuambil buku yang pernah bapak janjikan.
“Pak, aku sudah bisa mengucapkan Dal dan Dzal dengan baik. Aku hapal banyak suratan pendek.”
Bapak diam. Tubuhnya kaku.
Sekaku lidahku ketika ingin berteriak dan tak satu pun huruf ke luar dari tenggorokan. []
Pondok Cahaya-Yk, 13.02.2015
—
Kata/kalimat berbahasa Jawa :
1. Turutan : Buku ngaji hanya berisi Juz 30 dan pengenalan huruf hijaiyah.
2. “Nek kowe weruh bapak, aja diceluk.” : Kalau kamu melihat bapak, tidak usah dipanggil.
3. “Kie diwaca Da, nah sijine Dza.” : Ini dibaca Dza, satunya lagi Dza.
4. Tuding : Alat untuk menunjuk huruf dalam belajar membaca huruf hijaiyah/Al-Qur’an.
5. Dienggo : dipakai.
6. “Koe kangdi, Cah?” : Kamu dari mana, Nak?
7. “Saking sabin.” : Dari sawah.
8. “Teploke disidem!” : Matikan lampu minyak!
9. “Bukakna lawang.” : Bukakan pintu.
10. Sampeyan : Kamu.
11. Gelung : Rambut wanita yang ditekuk lalu diputar dan disimpul/cepol.
12. Tunggak : bagian paling bawa dari pohon yang sudah ditebang.
13. Cengkir : Bakal kelapa muda
14. “Wis wayaeh sembahyang.” : Sudah waktunya sholat.
15. “Wayaeh tentara lewat.” : Waktunya tentara lewat
16. “Bapakmu kae mungsueh tentara.” : Ayahmu itu musuhnya tentara
17. “Aja menek glugu.” : Jangan naik pohon kelapa.
18. Kakus : Jamban.
19. Lincak : tempat duduk/tidur berbentuk bangku panjang terbuat dari bamboo.