HABIB Ali Alhabsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman.
Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, dan KH Syafei Al-Hazami. Dia, pada 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad).
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan —sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Alhamnidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.
Pada Abad ke-19, Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, Ibu Kota Hindia Belanda.
Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap —lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen— Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.
Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam. Hingga ia meminta organisasi Nasrani ini mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh.
”Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.
Seperti layaknya meneruskan perang salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai —figur yang dihormati di masa penjajahan.
Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini —sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan— lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.
Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.” []
Sumber: Republika.co.id