Oleh: Muti’ah Nurul Jannah
Mahasiswi STEI SEBI Depok
mutiahnuruljannah512@gmail.com
INDONESIA sebagai negara dengan populasi umat Islam terbanyak, perekonomian yang dijalankan di Indonesia belum sepenuhnya dijalankan dengan sistem ekonomi Syariah. Dalam ekonomi, ada tiga aspek yang berjalan dalam sebuah alur perekonomian yaitu berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi.
Perlu adanya perbaikan pemahaman akan tiga aspek tersebut dengan pemahaman sesuai pemikiran ekonomi Syariah.
Tujuan utama perekonomian adalah menghasilkan nilai falah (kebahagiaan) untuk semua kalangan masyarakat hal ini termasuk tujuan dalam system perekonomian Islam. Pemahaman masyarakat saat ini terkait perekonomian dalam aspek berkonsumsi, berproduksi , dan berdistribusi perlu diperbaiki dengan pemahaman pemikiran ekonomi Syariah.
BACA JUGA: Peran Ekonomi Islam di Masa Pandemi, Apa?
Islam sebagai agama yang menyeluruh, segala aspek kehidupan telah diatur dalam prinsip Syariah yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. dan begitupun dalam aspek ekonomi telah diatur sesuai prinsip Syariah. Adanya para pemikir-pemikir ekonomi Islam untuk lebih memperluas pengetahuan terkait Ekonomi Islam yang sesuai dengan prinsip Syariah dan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan ekonomi dengan pemikiran ekonomi Syariah.
Pemaham pertama yang perlu diperbaiki yaitu terkait konsumsi. Jika pada saat ini masyarakat dalam berkonsumsi tidak mengatur apa yang seharusnya dikonsumsi dan apa yang seharusnya bisa disingkirkan untuk dikonsumsi, ada kebutuhan dan ada keinginan kedua hal ini berbeda, jika kebutuhan harus dipenuhi dan keinginan bisa tidak dipenuhi.
Dalam al-Qur’an ajaran tentang konsumsi dapat diambil dari kata kulu dan isyrabu terdapat sebanyak 21 kali. Sedangkan makan dan minumlah (kulu wasyrabu) sebanyak enam kali. Jumlah ayat mengenai ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata akala dan syaraba selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali. Seperti halnya pada ayat-ayat berikut: (Syaputra, 2017)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al Baqarah[2]: 168)
Parameter kepuasan dalam Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Al-Ghazali sebagai salah satu pemikir ekonomi Islam di masa kontemporer mendefinisikan bahwa masalah Ekonomi yang terjadi karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sementara Islam memandang bahwa keinginan manusia terbatas. (Syaputra, 2017) Sebagaimana firman Allah Swt:
إن كل شيء خلقه بقدر
“Sesungguhnya telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya” (Q.S Al-Qomar: 49)
Al-Ghazali telah meletakkan landasan yang benar tentang falsafah ekonomi Islam. Menurut beliau tujuan hidup seorang muslim adalah mencapai keselamatan di Akhirat. Adapun salah satu sarana untuk mencapai tujuan akhirat menurut AL-Ghazali adalah dengan mencari nafkah (harta yang halal dan tidak berlebihan), serta melalui sarana yang berdasarkan syariah dalam menjalankan aktivitas ekonomi (Pola Konsumsi). (Syaputra, 2017)
BACA JUGA: COVID-19 vs Perbankan Syariah
Jika mengaitkan permasalahan berkonsumsi dengan pemikiran Al-Ghazali perlu dibedakan antara kebutuhan dan keinginan, Adapun dalam berkonsumsi perlu dibarengi dengan akidah yang baik, karena dengan akidah yang baik mengikuti syariat Islam mengajarkan dalam berkonsumsi untuk tidak berlebihan, hal itu termasuk salah satu perilaku syaitan yang suka kemubadziran.
Dan dalam memenuhi kepuasan pun bisa dilakukan dengan melakukan amal shaleh. Keadaan saat ini berupa datangnya wabah virus COVID-19, masyarakat dapat mengambil hikmah dengan adanya musibah ini, dapat memperbaiki pola berkonsumsi dengan mengurangi membeli barang-barang yang sifatnya hanya untuk kepuasan sesaat dengan dialihkan kepuasan tersebut untuk berbagi dengan masyarakat umum yang sangat terdampak perekonomian yaitu kalangan orang-orang miskin.
Ketika hal itu dilakukan maka akan terpenuhilah kebutuhan pokok orang-orang miskin, dan perekonomian pun akan tetap berputar dengan stabil karena tersampaikannya permintaan kebutuhan dikalangan orang-orang miskin.
Dan jika kebutuhan orang-orang miskin terpenuhi maka kemungkinan kecil akan adanya tindak kriminal. Jika masih ada tindak criminal disuatu wilayah mungkin karena wilayah tersebut belum ada yang membantu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
Kedua, memperbaiki pemahaman masyarakat umum terkait berproduksi. Jika dalam ekonomi konvensional produksi itu untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam Islam yang bertujuan untuk memberikan maslahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam Islam untuk memenuhi maslahah, untuk memperoleh laba pun tidak menjadi masalah selama dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.
Ada beberapa tujuan kegiatan produksi dalam meningkatkan kemaslahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk diantaranya: (Ali, 2013)
1. Pemenuhan kebutuhan manusia tingkat moderat
2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya
3. Menyiapkan persediaan barang dan jasa dimasa depan
4. Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada allah
Jika mengkaji untuk permasalahan ekonomi saat ini akibat adanya wabah virus COVID-19 yang mulai merusak tatanan perproduksian akibat turunnya permintaan terhadap barang-barang tertentu. Namun jika melihat dari salah satu tujuan produksi yaitu produksi untuk menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya.
Dalam sebuah teori pemikiran Ibnu Kholdun dalam berproduksi, faktor produksi yang paling utama adalah tenaga kerja dan hambatan satu-satunya bagi pembangunan adalah kurangnya persediaan tenaga kerja yang terampil. Melihat dari peristiwa saat ini yang membutuhkan tenaga kerja atau produsen yang terampil yang dapat berpikir kreatif dan inovatif. Karena jika tidak mampu melakukannya maka suatu perusahaan itu mudah untuk mengalami kemunduran dalam bisnisnya.
Seperti halnya bisnis wahana permainan dia akan bangkrut jika tidak ada tenaga kerjanya atau pemilik usahanya tidak dapat berinovasi untuk menjalankan usahanya ditengah pandemi ini. maka Produsen harus proaktif, kreatif dan inovatif.
Ketiga perbaikan pemahaman perekonomian dalam aspek pendistribusian, sistem distribusi dalam pandangan ekonomi Islam harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, diantaranya adalah kebebasan individu, adanya jaminan sosial, larangan menumpuk harta dan distribusi kekayaan yang adil.
Dalam realitas, pasar juga tidak dapat beroperasi secara optimal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat pasar yang kompetitif, seperti informasi asimetri, hambatan perdagangan, monopoli, penyimpangan distribusi, dan lain-lain.
Untuk itu, diperlukan adanya peran pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan. (Holis, 2017) Seperti yang terjadi di awal masa pandemic, terjadi monopoli masker dan handsanitizer. Hal ini terjadi karena belum terjadinya perbaikan dalam aspek pemikiran distribusi. Jika diterapkannya perbaikan pemahaman dalam distribusi ini maka tidak akan ada yang dirugikan lagi dan kesejahteraan pun akan terwujud.
BACA JUGA: Kontribusi Bank Syariah Bagi UMKM di Era New Normal
Seperti halnya pemikiran ekonomi Islam di masa Yahya bin Umar bahwasanya Islam melarang secara tegas monopoli dari para pendagang yang berperan sebagai distributor yang mengambil keuntungan normal dengan dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih mahal, maka semakin sedikit persediaan barang semakin berkurang.
Dan menurut Yahya bin Umar apabila harga di pasar mengalami ketidakstabilan karena ulah segelintir para pedagang maka pemerintah sebagai lembaga formal harus melakukan interverensi terhadap harga tersebut dengan mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price (keseimbangan harga).
Masyarakat diperlukan untuk mengatur dirinya dalam aspek berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi. Seperti beberapa dalil Al-Qur’an yang telah menjelaskan aspek berkonsumsi yang baik, dan ditambah dengan pemikiran Al-Ghazali terkait cara berkonsumsi dalam Islam.
Dan dalam berproduksi diperlukan melihat kemaslahatan dimasyarakat umum dan bukan hanya mencari keuntungan dalam berproduksi. Adapun bagi produsen diperlukan kerja kreatif dan inovatif. Kemudian dalam aspek berdistribusi Islam telah melarang untuk adanya penimbunan atau memonopoli dagangan.
Dengan begitu jika hal itu terjadi menurut pemikiran Yahya bin Umar, pemerintah berperan untuk melakukan tindakan untuk mengambalikan keseimbangan pasar. Jika ketiga aspek ini telah diperbaiki maka tujuan dari perekonomian pun dapat tercipta dengan mudah. []
Referensi:
Ali, M. (2013). Prinsip Dasar Produksi Dalam Ekonomi Islam. Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan.
Aqbar, K., & Iskandar, A. (2019). Kontekstualisasi Ekonomi Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan. Jurnal UIN Alauddin.
Holis, M. (2017). Sistem Distribusi dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah.
Syaputra, E. (2017). Perilaku Konsumsi Masyarakat Modern PerspektifIslam: Telaah Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ulumuddin. Jurnal Ekonomi Syariah.
Wahyuni, S. (2013). Teori Konsumsi Dan Produksi Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal FEB Unmul.