PENCINTA dunia akan menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya dan mengesampingkan urusan akhirat. Cinta kepada dunia yang melebihi akhirat seperti itu berpotensi menjadi sumber segala keburukan dalam hidupnya. Dunia hanyalah tempat singgah untuk mencari bekal tuk kehidupan yang abadi, bukan ajang penggilaan harta, tahta dan jabatan.
Tujuan hidup seorang Muslim adalah akhirat, bukan dunia. Akhirat (surga) merupakan puncak cita-cita seorang Muslim. Orang yang beriman dan berakal memandang dunia dan akhirat dengan sudut pandang yang benar.
BACA JUGA: Apa yang Kamu Suka di Dunia Ini?
Cinta seseorang kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan bersikap zuhud terhadap dunia. Sementara, zuhud terhadap dunia tidak akan terealisasi melainkan setelah ia memandang kedua hal ini dengan sudut pandang yang benar.
Secara kasat mata, pecinta dunia terlihat sedang mengumpulkan banyak pundi-pundi kebahagiaan. Padahal yang dikumpulkan adalah segala kegelisahan, keletihan dam kerugian yang akan terus melekat.
Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (HR Ahmad, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân)
Secara tidak langusng, pecinta dunia itu sengaja mengumpulkan beberapa derita yang akan terus melekat pada dirinya. Dalam kitab Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân , Ibnul Qayyim berkata,
“Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) Kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) Kerugian yang tidak pernah berhenti.”
Tiga derita yang disebutkan di atas akan terus menemani kehidupan seseorang yang mencintai dunia di atas segalanya. Yang demikian disebabkan oleh rusaknya iman dan rusaknya akal. Kunci-kunci perbendaharaan dunia memang menarik.
Dari situ manusia bisa memilih gaya hidup yang dikehendaki, atau bisa menentukan makanan mana yang akan menjadi menu hari ini. Namun hal tersebut bukanlah sumber kebahagiaan, melainkan sebuah kegelisahan, keletihan dan kerugian yang tak berujung.
Dunia adalah bukan tempat kebahagiaan. Dunia tak ubahnya seperti awan pada musim kemarau yang membumbung di langit namun hanya sebentar lalu menghilang. Dunia seperti khayalan sesaat yang belum juga kita puas menikmatinya, tiba-tiba diumumkan untuk berangkat menuju kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangatlah merugi jika yang dinomersatukan adalah perbendaharaan dunia (pecinta dunia).
BACA JUGA: Ini 5 Penemuan Muslim yang Mengubah Dunia
Dalam kitab Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman,
“Wahai anak Adam! Luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.“ (HR. Ahmad)
Allah SWT berfirman,
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu hanya seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya adzab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir.” (QS Yunus: 24)
BACA JUGA: Imam Al Ghazali: Dunia dan Akhirat Tak Perlu Seimbang
Keterangan di atas merupakan angin segar yang bisa memberikan energi positif bagi seorang hamba yang sempat khawatir akan kecukupan hidupnya. Bagaimana tidak? Allah menjanjikan kekayaan (kecukupan) bagi siapa saja yang menghendaki dirinya untuk meluangkan waktunya untuk beribadah kepada-Nya. Ini bonus indah seorang hamba yang mau melaksanakan tugasnya. Tanpa dengan kesibukan yang bisa melupakan hak-Nya, ia sudah dicukupi oleh-Nya.
Apabila seseorang lebih mengutamakan sesuatu yang fana dan tidak sempurna, maka itu merupakan indikasi ketidaktahuannya terhadap mana yang lebih utama atau jika dia tahu maka itu merupakan indikasi dia tidak menginginkan sesuatu yang lebih utama tersebut. []