DALAM Alquran surah An-Nisa ayat 9 Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperingatkan para orang tua agar takut, jangan sampai meninggalkan anak keturunan yang lemah di belakang mereka. Allah Ta’ala berfirman.
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Terj. Qs. An-Nisaa ayat 9).
Lemah dalam ayat ini mencakup lemah fisik, ekonomi, dan spiritual. Menurut pakar Parenting islami Bendri Jaisyurrahman ada tiga kondisi dhaif (lemah) yang mesti dihindarkan seorang ayah terjadi pada anak-anaknya.
BACA JUGA: Peran Ayah di Masa Pandemi
Pertama, lemah dalam menjalani ujian kehidupan. Anak-anak yang lemah jiwanya dalam menjalani ujian kehidupan biasanya menunjukkan gejala “lari dari masalah” atau stres. Bahkan keduanya. Lari dari masalah, biasanya membuat anak tidak mau bertanggung-jawab atas perannya dalam masalah. Bahkan menimpakan masalah tersebut pada orang lain. Mencoba mencari aman dan mau enaknya sendiri. Kondisi seperti ini akan membahayakan orangtua, keluarga, bahkan masyarakat.
Gejala kedua adalah merasa sangat tertekan hingga stres dan bisa berujung pada bunuh diri atau membunuh orang lain. Orang yang tidak mampu mengelola perasaan dan pikirannnya ketika menghadapi masalah, bisa mejadi orang-orang yang berperilaku menyimpang. Merugikan dirinya sendiri bahkan bisa menyakiti orang lain.
Rasulullah Saw adalah contoh terbaik dalam menghadapi ujian kehidupan. Ujian yang beliau hadapi bukan kepalang beratnya. Beliau harus menjalani tiga tahun masa pemboikotan kaum Quraisy di Mekkah. Tiga tahun tanpa pasokan makanan yang mencukupi. Juga, pemblokiran akses ekonomi dan komunikasi dengan masyarakat di luar Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Disertai ancaman pembunuhan atas dirinya.
Namun, Rasulullah Saw tidak kemudian lari dari tugasnya sebagai utusan Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala. Beliau juga tidak meninggalkan kaumnya merasakan penderitaan sendirian. Kaum Muslimin merasakan kelaparan yang hebat, begitu juga dengan beliau. Tak hentinya beliau memohon pertolongan Allah SWT. Namun, masa tiga tahun tentu bukanlah masa yang singkat.
Kesedihan, kemiskinan, kelaparan, dan pengucilan; tentu sangat berat membebani jiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi keluarga, sahabat, dan kaum yang dicintainya turut menanggung derita. Diakhiri dengan kepedihan yang sangat memukul batinnya; Khadijah dan Abu Thaib meninggal dunia. Dua orang yang sangat dicintanya. Menjadi penolong dan penguat hatinya selama ini. Andai saja kita yang berada di posisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah apa yang telah kita lakukan.
Akan tetapi, inilah contoh yang Allah Ta’ala berikan kepada kita. Bahwa, seberat apapun derita yang kini tengah kita jalani, ada manusia agung yang lebih dahulu menjalani cobaan yang jauh lebih berat. Beliau juga memberi tahu cara agar kita tetap tenang dan dapat keluar dari sebuah ujian dengan baik.
Kedua, lemah (dhaif) menghadapi syahwat. Ada sebuah masalah tersendiri bagi kita, terutama generasi muda saat ini untuk bisa berkata ‘tidak.’ Sikap untuk menolak sesuatu yang buruk kadang menjadi dilematis pada masyarakat kita. Padahal berani menolak sesuatu yang buruk dan berani berkata tidak untuk sesuatu yang menjerumuskan kita pada maksiat adalah pencerminan ketauhidan itu sendiri.
Mengapa kalimat tauhid diawali dengan Laa yang berarti penolakan? Itu karena di zaman jahiliyyah, kaum kafir Quraisy sebenarnya sudah mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta. Allah SWT yang membuat mereka mampu melakukan perjalanan jauh untuk berdagang dan mempertahankan hidup.
Namun, mereka tidak mampu menundukkan keinginan (syahwat) mereka untuk tetap menyembah Lata, Uza, Manat, dan yang lainnya. Karena leluhur mereka menyembah berhala-berhala tersebut. Karena, dengan tetap menyembah berhala-berhala itu, mereka bisa melanggengkan tradisi-tradisi amoral dan bejat; sesuai dengan keinginan syahwat.
Inilah mengapa mengatakan Laa menjadi penting bagi seorang anak. Tugas ayahlah untuk mampu menegapkan jiwa seorang anak saat harus lantang berkata tidak pada sesuatu yang membuatnya bermaksiat kepada Allah SWT.
BACA JUGA: Kau dan Hartamu Milik Ayahmu
Ketiga, lemah (dhaif) terhadap kemarahan. Bila kita melihat acara-acara hiburan yang disuguhkan kepada anak, sedari anak yang masih kecil, remaja, hingga dewasa; banyak sekali yang mengumbar kemarahan untuk memperlihatkan kekuatan. Tayangan kartun pahlawan super, robot, animasi, hingga drama Korea, didominasi kemarahan sebagai pemicu konflik dan adu kekuatan.
Padahal dalam Islam, mampu menahan marah adalah salah satu ciri orang bertakwa, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Qs. Ali Imran : 134).
Marah kemudian memamerkan kekuatan pun bukan tanda ia orang kuat menurut Rasulullah Saw: “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian) tetapi tidak lain orang yang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah. (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi, jelas, disinilah peran ayah untuk menanamkan pengertian pada anak bahwa kekuatan yang sebenarnya ada pada sekuat apa ia mampu mengendalikan dirinya bahkan ketika ia mampu melampiaskan kemarahannya sekalipun. Meski, ia yang berada di pihak yang benar sekalipun. Ayah yang mampu meneduhkan hati anaknya sekaligus mampu mengajarkan cara mengendalikan diri inilah yang sangat dibutuhkan anak.
Contoh ayah yang tetap ramah saat dia lelah, ayah yang tetap tersenyum meskipun tengah menghadapi tekanan dari banyak pihak, dan ayah yang tetap bersedia mendengarkan anak meski ia adalah pemegang otoritas tertinggi di dalam rumah. Inilah yang didambakan oleh anak hingga nantinya ia tumbuh menjadi pribadi yang kuat mengendalikan amarahnya. []
SUMBER: WAHDAH