Oleh: Atabik Luthfi, MA
BULAIN Dzulkaidah merupakan bulan kesebelas dalam urutan kalender hijriyyah, yang diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Secara bahasa, Dzulkaidah terdiri dari dua kata, yaitu dzu yang artinya yang ‘memiliki’ dan qa’dah yang artinya ‘sesuatu yang diduduki atau aktifitas duduk-duduk.’
Makna literal ini merujuk kepada tradisi orang Arab jahiliyah yang memanfaatkan bulan Dzulkaidah untuk berehat duduk-duduk di kampung mereka, melepas lelah dan penat dari kebiasaan berpergian, bersengketa, dan berperang pada bulan-bulan yang lain. Mereka sangat menghormati bulan Dzulkaidah sebagai salah satu bulan haram, dan untuk mempersiapkan ibadah haji di bulan berikutnya, yaitu bulan Dzulhijjah (Syauqi Dhaif, Al-Mu’jam Al-Wasith)
BACA JUGA: Menyoal Larangan Nikah di Bulan Apit (Dzulqa’dah)
Ada apa di bulan Dzulkaidah? Dan apa saja yang dikaitkan dengan bulan haram ini? Terdapat beberapa petunjuk Al-Qur’an dan hadits yang dikaitkan dengan bulan Dzulkaidah, di antaranya:
Pertama, Dzulkaidah termasuk salah satu dari empat bulan haram, malah berada di urutan pertama empat bulan haram sesuai urutan kalender qamariyah. Di surat At-Taubah: 36, Allah swt menetapkan empat bulan dalam setahun sebagai bulan haram,
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرࣰا فِی كِتَـٰبِ ٱللَّهِ یَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَاۤ أَرۡبَعَةٌ حُرُمࣱۚ
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram”.
Rincian akan keempat bulan haram disebut di dalam hadits Rasulullah saw dari Abi Bakrah ra,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Zaman itu berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulkaidah, Dzulhijjah dan Muharram. (Berikutnya) bulan Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata ‘haram’ yang dikaitkan dengan empat bulan hijriyyah artinya adalah suci, agung, dan mulia. Dalam rangka memelihara kesucian dan kemuliaan bulan-bulan haram, terdapat beberapa pantang larang yang dihindari oleh masyarakat Arab.
Sahabat Ibnu Abbas ra merumuskan prinsip kemuliaan bulan haram dengan kaidah, ‘Beribadah dan beramal shalih di bulan-bulan haram dilipatkan gandakan pahalanya oleh Allah swt. Demikian sebaliknya, bermaksiat dan berbuat dosa di bulan-bulan tersebut digandakan hukumannya. (Latha’if Al-Ma’arif, Ibnu Rajab). Pandangan ini merujuk kepada ungkapan ‘Janganlah kalian berbuat aniaya di bulan-bulan tersebut’ yang tersebut di akhir ayat 36 surat At-Taubah.
Pengarang Tafsir Al-Jalalain menuturkan, “Janganlah menganiaya diri kalian sendiri”, yaitu janganlah berbuat maksiat pada bulan-bulan haram, karena dosanya lebih besar.
Larangan ‘Janganlah berbuat aniaya di empat bulan haram’ dimaknai dalam arti penegasan dan penguatan, bukan dalam arti pengkhususan. Berbuat aniaya tetap diharamkan di bulan apapun, namun lebih ditekankan dan dipertegas lagi di bulan-bulan haram, karena kesucian dan kemuliaan bulan-bulan tersebut.
Dalam rangka menghormati dan memuliakan bulan haram, orang-orang jahiliyah pun melakukan gencatan senjata, tidak melakukan peperangan di bulan-bulan haram. Tentu bagi umat Rasulullah saw, bulan-bulan haram ini lebih dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan, memperbanyak ibadah dan amal shalih, serta mengakselerasi keta’atan mereka di sisi Allah swt.
Kedua, Bulan Dzulkaidah termasuk salah satu bulan-bulan haji, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat,
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرࣱ مَّعۡلُومَـٰتࣱۚ فَمَن فَرَضَ فِیهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِی ٱلۡحَجِّۗ
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji”. (QS. Al-Baqarah: 197)
Mayoritas ulama memahami, bulan-bulan haji yang disebut di ayat adalah bulan Syawal, Dzulkaidah, dan sepuluh hari bulan Dzulhijjah. Asyhurun Ma’lumaat (bulan-bulan yang telah diketahui) merupakan bulan yang tidak sah ihram untuk menunaikan haji kecuali pada bulan-bulan ini, menurut pendapat jumhur fuqaha.
Pada waktu-waktu ini, pada umumnya jama’ah haji dari berbagai negeri mengenakan kain ihram untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini sesuai dengan keadaan masa dahulu, persiapan ibadah haji berlangsung selama dua bulan lebih, karena sarana dan pra sarana yang tidak memungkinkan, khususnya dikaitkan dengan transportasi yang sangat sederhana, sehingga memakan waktu yang sangat panjang. Oleh karena itu, Allah swt memberi kelonggaran waktu dari mulai bulan Syawwal dan Dzulqa’dah untuk melakukan ihram ibadah haji.
Khusus dengan bulan Dzulkaidah, Rasulullah saw memilih bulan ini untuk menunaikan ibadah umrah, karena berdekatan dengan bulan Dzulhijjah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menunaikan ibadah umrah di bulan ini sebanyak empat kali. Dari Anas bin Malik ra, Nabi saw melakukan umrah sebanyak empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang dilakukan bersama hajinya”. (HR. Bukhari).
Ketiga, dikatakan bahwa Nabi Musa as menghadap Allah swt untuk bermunajat dan menerima wahyu langsung di bukit Sinai terjadi di bulan Dzulkaidah. Pandangan ini berdasarkan riwayat tentang tafsir surat Al-A’raf: 142, yang menyebut janji Allah swt kepada nabi Musa as selama 40 malam,
وَوَ ٰعَدۡنَا مُوسَىٰ ثَلَـٰثِینَ لَیۡلَةࣰ وَأَتۡمَمۡنَـٰهَا بِعَشۡرࣲ فَتَمَّ مِیقَـٰتُ رَبِّهِۦۤ أَرۡبَعِینَ لَیۡلَةࣰۚ
“Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam”.
BACA JUGA: 4 Bulan Ini Disebut ‘Bulan Haram,’ Mengapa?
Tiga puluh malam yang dimaksud di ayat tersebut sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat mayoritas mufassir adalah satu bulan Dzulkaidah. Sedangkan sepuluh malam berikutnya adalah sepuluh malam Dzulhijjah. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Ibnu Katsir). Dari peristiwa ini, Dzulkaidah merupakan bulan bersejarah dalam kenabian Musa as sebagai ‘Kalimullah’, Nabi yang diajak berbicara langsung oleh Allah swt. Yakni sebagai penjelas dari firman Allah swt,
وَرُسُلࣰا قَدۡ قَصَصۡنَـٰهُمۡ عَلَیۡكَ مِن قَبۡلُ وَرُسُلࣰا لَّمۡ نَقۡصُصۡهُمۡ عَلَیۡكَۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِیمࣰا
“Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung”. (QS. An-Nisa’ 164)
Apa yang sebaiknya dilakukan sepanjang berada di bulan Dzulkaidah? Petunjuk Al-Qur’an di akhir ayat 36 surat At-Taubah, melarang keras perilaku zalim dalam berbagai jenis dan bentuknya, dimaknai secara mafhum agar menghindari dosa dan kemaksiatan, dengan menambah dan memperbanyak ibadah dan amal sunnah.
Ibadah dan amal sunnah yang mungkin dilakukan di suasana pandemi covid 19 ini di antaranya: shalat-shalat nafilah, khususnya shalat malam, shalat sunnat fajar, dan shalat dhuha. Berpuasa sunnah hari senin, kamis, dan Ayyamul Bidh. Memperbanyak, infaq, sedekah, dan wakaf. Membaca, menghafal dan mentadabburi Al-Qur’an. Bermunajat dan berdo’a agar terhindar dari musibah dan bencana. Insya Allah, jika umat Islam komit dan kompak dengan amaliah memuliakan bulan haram ini, akan semakin besar karunia Allah swt dalam bentuk pertolongan dan perlindunganNya. Amiin… []
SUMBER: IKADI