ALQURAN dan Sunnah adalah sumber utama ajaran Islam. Alquran merupakan kitab suci umat Islam yang merupakan kalamullah. Sedangkan sunah bersumber pada perkataan, perbuatan dan ketentuan yang berasal dari perikehidupan Rasulullah SAW.
Baik Alquran maupun hadis, keduanya terpelihara. Keduanya terjaga, salah satunya dalam bentuk tulisan.
Alquran tentu tidak perlu diragukan keaslian dan keotentikannya. Lantas, bagaimana dengan hadis?
Hadis memiliki beragam kualitas, seperti hadis shahih, hasan, dan dhaif. Dengan demikian, merupakan syarat bahwa keaslian suatu hadits harus diverifikasi dan ditetapkan agar hadits tersebut sah sebagai bukti atas hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan Islam atau syariat Islam.
BACA JUGA: Mengenal Hadits Dhaif
Keaslian hadits ditentukan oleh studi yang cermat tentang rantai transmisi dan teksnya. Diantara syarat keasliannya adalah tidak boleh ada putusnya mata rantai penuturan (sanad), semua perawi harus dapat dipercaya, dan teks narasi tertentu dari teks hadits tertentu harus berkorelasi dengan narasi lain dari teks yang sama.
Hadis yang sesuai dengan kondisi keasliannya dinilai sahih (otentik) atau hasan (baik), tergantung pada kekuatan penyampaiannya.
Hadis yang tidak sesuai dengan kondisi keasliannya diklasifikasikan sebagai da`if (lemah), munkar (mencela) atau mawdu` (dibuat-buat).
Hadits dinyatakan lemah karena sejumlah alasan, misalnya jika ada masalah dengan salah satu ingatan perawi atau jika ada putusnya rantai penuturan (sanad).
Sebuah hadits mungkin dinilai dhaif jika satu-satunya masalah adalah bahwa seorang perawi dengan kejujuran yang dikonfirmasi diketahui membuat kesalahan yang tidak disengaja dalam berhubungan dengan ingatan pada kesempatan tertentu.
Kelemahan yang lebih serius adalah terkait reputasi seorang perawi. Sebuah hadits sangat lemah jika ada celah yang sebenarnya dalam transmisi (rantai sanad).
Sebuah hadits dinyatakan munkar ketika ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Nabi SAw tidak membuat pernyataan tersebut.
Sebuah hadits dinyatakan palsu jika seorang perawi diketahui sebagai pembohong.
Para ahli sepakat bahwa hanya hadits shahih lah yang dapat digunakan untuk menetapkan masalah akidah dan hadits palsu tidak boleh digunakan untuk tujuan apa pun.
Lantas, bagaimana dengan hadis lemah atau dhaif?
Sebagian ulama tidak setuju jika hadits yang agak lemah digunakan untuk membangun keutamaan amal; misalnya, hadits yang mendorong shalat, amal, dan hal-hal lain yang sudah mapan dalam Islam.
Di bawah ini adalah tiga pandangan terkait penggunaan hadis dhaif tersebut:
1 Hadits yang sangat lemah dapat dengan bebas digunakan untuk membangun keutamaan perbuatan
Ini secara luas dianggap sebagai pendapat mayoritas tentang masalah ini. Ahli hadis dan ahli hukum terkenal, An-Nawawi menulis dalam pengantar Empat Puluh Hadis:
“Para ahli setuju bahwa hadits lemah yang berbicara hanya tentang keutamaan perbuatan dapat dikutip.”
Para ulama yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa ketika isi teks hadits tidak berimplikasi pada masalah doktrin atau hukum agama, tingkat ketelitian dalam menentukan keasliannya tidak separah itu.
Ketika sebuah haditshanya berbicara tentang berkah yang diterima dengan melakukan perbuatan baik yang sudah mapan seperti sholat, puasa atau kebaikan kepada tetangga, maka itu tidak memperkenalkan sesuatu yang baru pada agama, tetapi hanya mendorong praktik keagamaan yang sehat. Hadits semacam itu tidak menyatakan hal-hal yang halal atau haram, melainkan menegaskan apa yang sudah ditetapkan oleh keimanan.
2 Hadits yang sangat lemah tidak dapat digunakan untuk apapun
Demikian pendapat Imam Muslim, penyusun Sahih Muslim, kompilasi Hadits kedua yang paling terpercaya. Dia menulis dalam pengantar karya itu:
“Sangat penting bagi setiap orang untuk membedakan narasi otentik dari yang tidak autentik, dan perawi yang dapat dipercaya dari mereka yang meragukan. Ini untuk menghindari menarasikan apa pun selain apa yang secara otentik ditetapkan dari sumbernya.”
Pendapat ini telah diatribusikan kepada Imam Ahmad ibn Hanbal. Sarjana Hanbali, Ibn Muflih menulis:
“Hal ini dikaitkan dengan Imam Ahmad bahwa dia tidak akan pernah menggunakan hadits yang lemah untuk membangun kebajikan amal atau perbuatan baik.” ( Al-Adab ash-Shar`iyyah , 2/304)
Pandangan ini juga diadopsi oleh ibn Hazm.
BACA JUGA: Karimah bin Ahmad Al Marwaziyyah, Wanita Muslim yang Jadi Ahli Hadis di Mekah
3 Hadits yang agak lemah dapat digunakan untuk mendorong perbuatan baik jika kondisi tertentu terpenuhi
Kondisi ini disebutkan oleh ibn Hajar al-`Asqalani sebagai berikut:
Pertama, hadis seharusnya tidak terlalu lemah.
Ini tidak boleh menjadi narasi seseorang yang diketahui membuat banyak atau kesalahan yang sangat serius dalam narasi. Ini tentunya bukan narasi dari seseorang yang dituduh melakukan pemalsuan yang disengaja.
Kedua, hadits harus membahas sesuatu yang sudah kokoh dan mapan secara umum dalam hukum Islam.
Itu tidak bisa dengan cara apa pun membangun sesuatu yang baru.
Ketiga, mereka yang bertindak berdasarkan hadits hendaknya tidak menumbuhkan keyakinan yang kuat di dalam hati mereka bahwa apa hadits itu mengatakan itu benar. Mereka harus menyadari kemungkinan bahwa Nabi (damai dan berkah Allah besertanya) mungkin tidak mengucapkan kata-kata itu, dan mereka harus berhati-hati dalam menghubungkan sesuatu yang tidak dia katakan kepada Nabi. Ibn Taimiyah menunjukkan klarifikasi penting untuk kondisi kedua ketika dia berkata:
“Jika hadits yang lemah berbicara tentang keutamaan perbuatan baik memperkenalkan pernyataan kuantitatif atau spesifikasi apapun, maka tidak diperbolehkan untuk menggunakannya.
Misalnya, ini akan menjadi kasus jika hadits menentukan waktu tertentu untuk membaca Alquran atau bab atau ayat tertentu, atau jika itu memberikan cara tertentu untuk melakukan suatu tindakan.” (Majmu` al-Fatawa, 18/67) []
SUMBER: ISLAM TODAY | ABOUT ISLAM