Oleh M. Anwar Djaelani
Aktivis MIUM Jawa Timur
DI sebuah perang membela Islam, tiga orang terluka parah. Ketiganya sangat membutuhkan air minum. Tapi, setelah tersedia, mereka malah saling mengalah.
Mereka saling mendahulukan sahabatnya agar bisa minum terlebih dahulu. Apa yang terjadi? Setelah gelas air itu ‘berputar’ di antara mereka tanpa sempat diminum, meninggallah mereka tanpa seorangpun sempat meminumnya.
Pelajaran Menggetarkan
Di Perang Yarmuk, Ikrimah bin Abi Jahal berjuang untuk Islam secara total. Dia terus maju menghadapi musuh tiada gentar sedikitpun. Sudah banyak tentara Romawi yang tewas di tangannya.
Demi memperhatikan ‘kinerja jihad’ Ikrimah yang super-berani itu, Khalid bin Walid –panglima perang- lalu mendekati dan mengingatkannya: “Ikrimah, janganlah nekat. Keberadaan Anda sangat dibutuhkan oleh kaum Muslimin!”
“Hmm…, mudah saja Anda berkata seperti itu. Anda sudah merasakan manisnya berjuang di Jalan Allah bersama Rasulullah SAW ketika saya dan bapak saya masih sangat keras memerangi Islam. Pantaskah kini -setelah bersama Rasulullah SAW- saya malah lari dari hadangan pasukan Romawi? Oh, tidak! Biarkan saya menebus dosa-dosa saya,” kata Ikrimah dengan mantap. Lalu, tanpa ragu-ragu, ia kembali masuk ke arena perang.
Sayang, Ikrimah akhirnya terluka parah. Ia dibaringkan berdekatan dengan Harits bin Hisyam dan Suhail bin Umair yang juga terluka parah. Akibat kehilangan banyak darah, mereka bertiga sangat haus.
Ketika seorang perawat hendak memberi Ikrimah segelas air minum, tiba-tiba Harits mengeluh kehausan. Ikrimah meminta air itu untuk diberikan ke Harits saja. Namun, belum lagi bibir Harits menyentuh gelas, Suhail mengerang kehausan. Haritspun mendahulukan Suhail untuk minum. Tapi, Suhail pun tidak jadi minum dan mendahulukan Ikrimah yang kembali mengerang kehausan.
Begitu gelas berisi air itu didekatkan ke bibir Ikrimah, ternyata dia sudah meninggal. Demikian pula ketika air hendak diminumkan ke Harits, ternyata dia juga telah tiada. Lalu, Suhail menyusul syahid pula. Ketiganya gugur di medan jihad tanpa sempat minum untuk kali yang terakhir. Ma-syaa Allah!
Berbuat kebajikan memang perintah Allah. Ketiganya sangat memahami dan bahkan tampak berusaha untuk mempraktikkannya. Ikrimah, Harits, dan Suhail terlihat sedang “berebut perhatian” Allah. Ketiganya sedang “mencari perhatian” Allah. Mereka rindu untuk mendapat ridha Allah. “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” (QS Al-Maaidah [5]: 93).
Berbuat baik kepada orang lain termasuk kebajikan yang sangat disukai untuk kita amalkan secara istiqomah. “Berlomba-lombalah berbuat kebajikan,” (QS Al-Maaidah [5]: 48). Pada kisah Ikrimah dan dua sahabatnya di atas, jelas mereka sedang berlomba-lomba menjadi “yang terdepan” dalam hal berbuat kebajikan. Hal itu mantap mereka lakukan, agar mendapat kemenangan atau kebahagiaan. “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan,” (QS Al-Hajj [22]: 77).
Ikrimah dan dua sahabatnya ingin selalu bersegera dan memperbanyak berbuat kebajikan Bahkan sekalipun harus melepas sesuatu yang sangat mereka cintai, sesuatu yang sangat mereka inginkan. Pada saat terjadi kisah “Tiga sahabat yang saling mengalah” tadi, sesungguhnya segelas air adalah sesuatu yang paling diinginkan dan sangat berharga yang –boleh jadi- akan bisa menyelamatkan mereka dari kematian. Tapi, mereka malah saling mengalah dan ingin mendahulukan sang sahabat untuk menikmati air itu.
Mereka telah memperagakan dengan indah tentang bagaimana praktik “menafkahkan harta yang paling kita cintai”. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya,” (QS Ali ‘Imraan [3]: 92).
Mereka –Ikrimah dan dua sahabatnya- terlihat memiliki ciri sebagai orang shalih yaitu bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan. “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shalih,” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 114) .
Pada kisah “Tiga sahabat yang saling mengalah” itu tampak nyata bahwa mereka memiliki ciri-ciri sebagai orang yang bertaqwa. Apa ciri-cirinya? Berinfaq di Jalan Allah, baik di saat lapang ataupun sempit. Jelas, di saat-saat mereka terluka parah dan kehausan, mereka tidak sedang lapang. Bahkan, sebaliknya, mereka benar-benar sedang dalam posisi kesempitan karena air yang tak segera diminum beresiko (memercepat) kematian. Tapi, saat itu, bagi mereka ajaran berikut ini teramat indah dan nikmat untuk diabaikan begitu saja. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” (QS. Ali ‘Imraan [3]:133-134).
Atas apa yang telah mereka peragakan itu, pantas kiranya pahala dari Allah mereka terima. “Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)-nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertaqwa” (QS Ali ‘Imraan [3]: 115).
Kebahagiaan Tertinggi
Segera ambil hikmah: Bahwa, berbuat kebajikan memang perintah Allah. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran,” (QS An-Nahl [16]: 90).
Mari raih kebahagiaan yang hakiki dengan menjadi orang yang disukai Allah. “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” (QS Al-Maaidah [5]: 93). Sungguh, adakah kebahagiaan lain yang bisa melebihi orang yang disukai Allah? []