ADAPUN mereka yang mengatakan puasa Syawal tersebut sunah, mereka berbeda pendapat mengenai tata cara pelaksanaannya kepada tiga pendapat:
Pertama: Puasa itu dilaksanakan di awal bulan secara beruntun. Ini merupakan pendapat Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah secara marfu’,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مُتَتَابِعَةً فَكَأَنَّمَا صَامَ السَّنَةَ».
“Barang siapa berpuasa enam hari berturut-turut setelah Idul Fitri, seolah-olah ia telah berpuasa setahun.” (HR. Thabrani dan lainnya dengan sanad dha’if) – Disebutkan Haitsamı dalam Majma’ Az-Zawaid (III/183). Ia berkata, “Diriwayatkan Thabrani dalam Al Ausath, Sanadnya terdapat rawi yang tidak aku kenali.” Silakan merujuk At-Targhib wat Tarhib (Hadits ini juga diriwayatkan secara mauquf dari theu Abbas dengan sanad yang jaga dhaif. Haltsami berkata dalam Majma Az-Zawaid (III/184): Dari Ibnu Abbas dan Jabir bahwa Nabi bersabda, “Barang siapa berpuasa Ramadhan dan menyusulnya dengan enam hari dari bulan Syawal, ia telah berpuasa setahun penuh” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath). Sanadnya terdapat Yahya bin Sa’id Al-Mazini yang berstatus matruk.
BACA JUGA: Puasa Syawal Dulu Atau Puasa Qadha Ramadhan?
Kedua: Tidak ada bedanya apakah enam hari itu dilakukan secara beruntun atau terpisah pisah, yang penting masih di bulan Syawal. Ini merupakan pendapat Waki dan Ahmad.
Ketiga: Enam puasa tersebut tidak boleh dilaksanakan tepat setelah Hari Raya Idul Fitri, karena hari Id adalah hari makan dan minum. Akan tetapi, hendaknya dilaksanakan tiga hari sebelum ayyamul bidh atau setelahnya. Ini merupakan pendapat Mamar dan Abdurazak.
Hadits yang membahas hal ini diriwayatkan oleh Atha’, sampai sampai diriwayatkan bahwa Atha memakruhkan membayar utang puasa Ramadhan lalu langsung menyambungnya dengan puasa sunah Syawal. Ia menyarankan agar dijeda di antara keduanya. Namun pendapatnya merupakan pendapat yang syadz (Pendapat syadz adalah pendapat yang berbeda atau tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama fikih. Dalam ilmu hadis, syadz juga dapat merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul (diterima), tetapi bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.)
Mayoritas ulama menyatakan tidak makruh berpuasa Syawal langsung setelah Hari Raya Idul Fitri. Hal itu diterangkan dalam hadits Imran bin Hushain dari Nabi bahwa beliau berkata kepada seseorang, “Jika kamu telah berbuka (dari puasa Ramadhan) maka berpuasalah.” Hadits ini telah kami sebutkan di akhir pembahasan tentang bulan Sya’ban.
Ada sekelompok salaf yang berpuasa terus-menerus selain hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ia berkata kepada keluarganya, “Siapa yang punya utang puasa Ramadhan hendaknya la lunasi keesokan harinya setelah Idul Fitri. Siapa yang berpuasa keesokan hari setelah Idul Fitri maka seolah-olah ia telah berpuasa Ramadhan.” Sebagian sanad hadits ini dha’if.
BACA JUGA: Bolehkah Puasa Syawal Digabung dengan Qadha dan tak Berurutan?
Dari Sya’bi berkata, “Sungguh puasa satu hari setelah Ramadhan lebih aku sukai daripada puasa sepanjang masa.”
Diriwayatkan pula dengan sanad dha’if dari Ibnu Umar secara marfu, “Siapa yang puasa sehari setelah Idul Fitri maka ia seperti puasa satu tahun.”
Diriwayatkan pula dengan sanad dha’if dari Ibnu Abbas secara marfu”, “Orang yang puasa setelah Ramadhan seperti orang yang menyerang setelah mundur.” – Disebutkan Hindi dalam Kanzul “Ummal (24142). la lantas menisbatkan riwayat ini kepada Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Abbas. Disebutkan pula oleh Albani dalam Dha’if Al-Jami Ash Shagir (3529). Beliau berkata, “Sangat dha’if” []
SUMBER: HUMAYRO