SORE ini Mbah Guru diundang ke rumah keluarga besar Pak Paijo. Sesampai di sana beberapa kerabat sudah berkumpul. Wajah mereka tampak serius, seperti menunggu sesuatu.
“Begini Mbah, panjenengan kan sebagai ahli agama. Paling tidak mengerti ilmu agama tentang pembagian warisan. Jujur kami baru saja menjual tanah dan sawah milik almarhum Bapak. Sebenarnya anak bapak ada lima, namun adek saya seorang sudah meninggal dunia. Bagaimana cara kami membagai warisan?” Pak Paijo mengawali.
“Sebelumnya saya boleh tanya,” tukas Mbah Guru.
“Nggih monggo, Mbah.”
“Apakah meninggalnya adek ketika bapak masih hidup?”
“Iya, Mbah”
“Ia tidak berhak mendapat warisan. Artinya kalau adek ada istri atau anak, mereka tidak berhak mendapat bagian.”
Ada beberapa wajah yang bersungut mendengar penejelasan ini.
“Apakah dari saudara yang masih hidup ada yang perempuan?” Mbah Guru lanjut bertanya.
“Ya, ada dua.”
“Oke, bagian mereka separuh bagian laki-laki. Sekali lagi itu jika menurut Al-Quran. Bukankah kehadiran saya di sini untuk hal itu.”
Beberapa wajah memerah, tanda tak setuju. Seorang wanita paruh baya berbadan besar menyahut, ”Tak usah pake cara-cara Al-Quran lah, pake yang umum saja. Seperti orang-orang. Bikin masalah saja Mas Paijo ini.”
Keadaan yang tenang kini mulai ricuh. Sahut menyahut pendapat tak bisa dielakkan. Mbah Guru hanya diam melihat mereka saling adu argumen.
“Maaf Mbah, saya nggak mengira bakal begini. Demi kedamaian kami memakai cara yang umum saja. Mungkin itu yang terbaik dan lebih adil bagi keluarga kami,” ucap Pak Paijo.
“Oh, nggak papa. Baiklah saya pamit. Terima kasih.”
Mbah Guru pun pulang. Meski tampak tenang sebenarnya perasaan dan pikiran beliau melayang. Teringat sebuah ayat dalam Al Quran yang bercerita tenatang kebandelan umat Bani Israel yang enggan mengimani semua Firman Tuhan.
“… Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. al-Baqarah: 85)
Walau itu sebenarnya sindiran untuk umat Islam yang menerima sebagian Al-Quran dan menolak sebagian yang lain.
“… Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. an-Nisa: 150-151)
***
Kejadian ini nyata terjadi di sekitar kita, bahkan di keluarga muslim. Apalagi masyarakat Jawa yang notabene “ora ilok” alias tabu jika membicarakan warisan ketika orang tua baru meninggal. Namun mereka tidak sadar ada timbunan kerak ketidakikhlasan, lahir bibit dendam dan perpecahan karena merasa tidak diperlakukan adil di hari kemudian.
Saya pribadi kagum dengan masyarakat keturunan Arab di Solo yang membudayakan pembagian warisan secara cepat meski bagi orang Jawa terkesan tidak hormat. Setelah ayah meninggal maka semua harta akan digunakan membayar hutang lalu sisanya dibagi kepada istri dan anak (keluarga) sesuai cara Al-Quran. Sehingga tidak ada cerita sertifikat tanah atas nama ayah tidak pernah berubah hingga semua anaknya meninggal.
Selain secara administrasi menyulitkan, perhitungan warisan juga menimbulkan ketidaknyamanan. Belum lagi jika ada cucu yang memakai atau membangun rumah di atas tanah warisan. Masalah akan lebih komplek. Karena tidak semua anak cucu mempunyai kondisi ekonomi yang sama.
Al-Quran itu solusi, tapi orang Islam kadang malah antipati. Kalau pembagian warisan saja orang Islam lebih suka memakai akalnya dan meninggalkan cara Al-Quran, bagaimana dengan hukum yang lain? []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.