Oleh: Paman Abu
SUATU hari, paman melihat seorang bocah pelajar kelas 3 SD terpaku di depan pesawat televisi. Tiba-tiba ia berdiri, lalu mengikuti irama lagu: “Kauhancurkan hatiku, hancurkan hatiku … lagi”.
Yang menarik perhatian paman adalah kenyataan bocah berusia sekitar 9 tahun telah mengikuti selera orang yang bisa dibilang “dewasa”. Mungkin itu hanya penyesuaian perilaku yang bersifat auditif (pengaruh suara dan pendengaran) saja, karena di lain kesempatan saya juga menyaksikan seorang anak balita sudah bisa menirukan irama: “Yo, ayo bongkar!” dari Iwan Fals. Tentu saja anak sekecil itu belum mengerti semangat perlawanan apa yang sedang digerakkan oleh Iwan selaku wakil dari suara “kaum pinggiran”.
Karena itu, hati-hati jika kamu mendengar suatu lagu atau syair, lalu mencoba menghapalnya dan mengulang-ulangnya di waktu senggang atau tegang, maka lirik dan syair itu bisa menjadi wirid kamu. Artinya, baik-buruk amal kamu akhirnya ditentukan oleh kebiasaan yang kamu lakukan setiap hari, setiap jam, setiap detiknya. Jangan pandang remeh kebiasaan sekecil apapun, sebab dapat menggiring kamu kepada amal shalih (kebaikan) atau amal thalih (keburukan).
Pada contoh awal, lagu yang membuat hati patah dan hancur (broken heart) itu, misalnya, seorang anak telah diseret ke arah pemahaman yang keliru tentang “cinta”. Terus terang, paman tak pandai, bahkan tak mendalami khusus ilmu cinta, namun saya menjalaninya sebagai manusia normal dengan segala rahasia dan hikmahnya. Jadi, pengetahuan saya tentang cinta berdasarkan pengalaman hidup nyata, bukan cuma khayalan kosong yang memabukkan.
Dalam pandangan hidup ala Peterpan atau segala tipe Boy Band lainnya, cinta tampil dalam wujud romantisme yang sering mengombang-ambingkan jiwa manusia dalam melankoli. Jiwa manusia seperti ramalan cuaca, kadang mendung dan hujan (sedih-menangis), kadang pula cerah dan bersinar (gembira-tertawa). Romantisme cinta membuat jiwa seseorang, apalagi mereka yang baru memasuki fase pubertas pertama (aqil baligh), naik-turun persis bak fluktuasi mata uang rupiah dalam transaksi moneter.
Tak ada yang salah dengan aspek romantisme cinta. Itulah yang membedakan kamu dengan monyet (hewan) atau malaikat (makhluk suci). Monyet dan semua spesies hewan tak perlu romantisme, karena hubungan antar mereka berlangsung secara naluriah. Ada instink yang Allah Mahakuasa ilhamkan ke dalam diri mereka untuk bertahan hidup dan mengembang-biakkan keturunan. Walaupun suatu kali mungkin kamu akan terkejut memergoki, seekor anak monyet terlihat gundah dan meneteskan air mata, manakala kehilangan akibat kematian induknya. Air mata itu sangat tulus sebagai gambaran dari cinta sang monyet. Jadi bukan seperti air mata buaya yang kata orang hanya tipuan belaka.
Apa kamu pernah diserang “cinta monyet”? Wajar saja, jangan takut, tapi juga jangan tertipu. Pahamilah dimensi cinta yang lain berupa idealisme, yakni orang yang mencintai dirinya atau orang lain demi memperjuangkan cita-cita yang luhur. Kita mencintai diri sendiri artinya mensyukuri segala karunia yang Allah berikan berupa jasad, akal dan perasaan yang ada. Kita tidak membenci dan merusak diri kita sendiri hanya karena rambut kribo atau jabrik, padahal iklan di teve selalu menampilkan gadis manis dan pemuda ganteng dengan rambut panjang dan lurus. Kita juga tidak membenci dan merusak kulit kita yang rada hitam dan sawo matang, hanya karena ingin putih bersinar.
Bagi kita, jasad dan jiwa yang sehat lebih penting dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Kamu punya misi hidup yang lebih besar ketimbang mempercantik diri sendiri. Begitu pula, kamu mungkin mencintai orangtua, saudara, dan kawan-kawan dalam konteks lebih luas. Bukan sekadar mereka dekat secara fisik dengan kamu, apalagi selalu mengikuti gaya hidup kamu. Bukan itu. Tapi, karena kita punya misi hidup bersama.
Coba tanya orangtua kamu, mengapa dulu mereka begitu merindukan kelahiranmu dan membesarkanmu dengan penuh kasih sayang? Pasti jawabnya, karena mereka menginginkan kamu menjadi manusia yang bermanfaat. “Khairukum anfaukum linnas (yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia),” kata Nabi Saw. Orangtua kamu punya cita-cita yang dititipkannya kepada kamu, walaupun mereka tidak akan memaksa kamu untuk jadi apapun. Itulah cinta berdimensi idealisme yang membuat umat ini bertahan di tengah kepungan ideologi sekulerisme, materialisme, dan pandangan hidup lain.
Kamu ingat potongan nasyid yang disenandungkan Brothers, “Ke mana-mana aku mencari/ teman yang sejati/ tuk menemani/ perjalanan hidup ini …”? Teman sejati tak selalu berarti seorang pacar. Kamu perlu teman dalam belajar kelompok untuk menyelesaikan pe-er yang sulit, kamu perlu teman diskusi dalam berorganisasi, kamu juga perlu partner kerja suatu saat nanti dalam meniti sukses karir dan profesi.
Cinta romantis membuat hatimu patah, sedang cinta idealis membuat jiwamu berkobar-kobar untuk menggapai cita-cita. []