DI zaman kiwari, manusia mulai tak peduli lagi soal halal-haram. “Yang penting gue seneng.” Ungkapan tersebut mungkin cocok menggambarkan orang-orang yang lupa akan segala hal yang halal. Entah itu halal untuk makanan, minuman, atau cara mendapatkan rezeki.
Kenyataannya, makanan halal maupun yang haram ternyata berpengaruh pada hati individu dan perangainya. Makanan halal pasti akan mendatangkan kebaikan. Sebaliknya, makanan haram akan mendatangkan keburukan yang pada akhirnya merambah memengaruhi masyarakat. Sebab sebuah komunitas terdiri dari sekelompok individu.
Menurut Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan yang kutip Al-Manhaj, jika masyarakat yang di dominasi dengan kejujuran dalam bermua’malah, mengonsumsi makanan halal, maka mereka akan tumbuh menjadi sebuah komunitas yang bersih, teladan dan saling menolong lagi kokoh.
Sebaliknya, masyarakat yang terkungkung oleh praktek risywah (suap), tipu menipu dan tersebarnya makanan yang haram, akan menjadi komunitas yang ternoda, tercerai berai, indiviudalis, tak mengenal kerjasama saling menolong, hina di mata masyarakat lain, (juga sebagai) ladang subur bagi perkembangan sifat-sifat buruk. Pada gilirannya, akan menyeret masyarakat tersebut pada kondisi yang lemah, tidak lama kemudian akan sirna oleh arus yang kecil sekalipun.
Pasalnya, makanan-makanan haram bisa merusak tabiat manusia. “Allah mengharamkan makanan-makanan yang buruk lantaran mengandung unsur yang dapat menimbulkan kerusakan, baik pada akal, akhlak ataupun aspek lainnya. Keganjilan prilaku akan nampak pada orang-orang yang menghalalkan makanan dan minuman yang haram tersebut, sesuai dengan kadar kerusakan yang terkandung (dalam makanan tersebut). Seandainya, mereka tidak mencari-cari alasan takwil (sebagai pembenaran), niscaya sudah pantas untuk ditimpa siksa. []