MENIKAH tak terikat dengan waktu tertentu. Kapan saja, di hari dan bulan apapun Islam tidak melarang umatnya untuk menikah. Sebab dalam akidah Islam tidak ada yang namanya hari dan bulan buruk, hari dan bulan sial untuk sebuah pernikahan. Semua waktu adalah baik.
Namun demikian, sebagian orang masih meyakini adanya hari sial dan bulan sial. Dan dalam menentukan waktu pernikahan mereka menghitung-hitung dan mencari waktu yang mereka yakini sebagai waktu yang baik, hari dan bulan baik, supaya terhindar dari bala bencana, seperti perceraian, menurut anggapan mereka.
Di masa jahiliyyah dahulu, masyarakat Arab meyakini adanya suatu masa yang bila melakukan pernikahan atau membangun rumah tangga maka tidak akan beruntung alias sial, yaitu bulan Syawal. Anggapan ini mereka sandarkan kepada keadaan unta betina yang mengangkat ekornya (sya-lat bi dzanabiha) sebagai tanda penolakan terhadap unta jantan yang mendekatinya. Karena itulah para wanita mereka menolak untuk dinikahi atau para wali wanita menolak untuk menikahkan anak wanitanya.
Setelah Islam datang dan Rasulullah SAW secara bertahap menancapkan tiang-tiang akidah yang lurus, sehingga sedikit demi sedikit orang-orang memeluk Islam. Maka di tengah-tengah dakwah beliau kepada tauhid dan menghapus kesyirikan di bumi Mekkah saat itu, beberapa saat setelah isteri beliau tercinta Khadijah Radiyallahu ‘anhaa wafat pada bulan Ramadhan, maka pada bulan Syawal yaitu di tahun ke-11 kenabian (dua atau tiga tahun sebelum hijrah) beliau menikahi Aisyah yang saat itu berusia 6 atau 7 tahun. Dan setelah itu menikahi isteri beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam Saudah binti Zam’ah ra pada bulan yang sama.
Aisyah Radiyallahu ‘anhaa juga berkata,
“Rasulullah menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim).
Al-Imam An-Nawawi menerangkan hadits di atas di dalam syarah Shahih Muslim (9/209), “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Dan Aisyah Radiyallahu ‘anhaa ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawal. Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyyah yang bertathayyur (menganggap sial). Hal itu, dikarenakan penamaan syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/mengangkat),” (yang bermakna ketidakberuntungan menurut mereka).
Demikianlah, akhirnya Islam menetapkan sunnahnya mengadakan pernikahan dan membangun rumah tangga di bulan Syawal, terutama di tengah masyarakat yang meyakini kesialan bulan tersebut untuk sebuah pernikahan. Wallahualam. []