Oleh: Rosadi Alibasa
MOBIL kijang biru tua dari luar kota sore itu memasuki Kota Kembang Bandung. Teduh menjelang malam menyejukan pemandangan di sekitar pinggiran kota. Selepas keluar jalan tol Purbaleunyi, di perempatan, lampu merah menyala.
Mobil terhenti dalam antrean tidak begitu panjang. Seorang penjaja makanan mendekati, sambil mengangkat barang dagangan menawarkan apa yang dibawanya. Kaca mobil tidak terbuka, hanya lambaian tangan tanda yang menolak tawaran si penjaja, terlihat dari belakang kemudi yang samar dibalik kaca film gelap.
Tidak begitu lama berselang pengemis dengan baju compang-camping tapi masih dalam usia produktif juga menghampirinya. Menengadahkan tangan sambil berucap, “Kasihan pak, kasihan pak…….”
Kemudian kaca mobil terbuka dan uang recehan pun di keluarkan untuk si pengemis.
Memang penjaja makanan dan pengemis di lampu-lampu merah bukanlah pemandangan yang aneh. selepas keluar jalan tol Pasteur tersebut.
Lantas, apa yang aneh? Apa yang menjadi masalah?
Dua orang penumpang di dalam mobil tampak karib terlibat dalam pembicaraan.
“Mengapa kamu lebih tertarik memberikan uang pada pengemis dari pada membeli barang dagangan penjual tadi?” tanya sahabat yang sama-sama duduk di kursi depan.
”Saya tidak membutuhkan barang dagangan penjual itu,” jawaban simple keluar dari mulut karibnya yang mengemudi.
Percakapan itu singkat, kejadian itu juga singkat. Tapi dampak dari kejadian tersebut tidaklah singkat. Pengemis yang merasa mudah mendapatkan uang dengan menengadahkan tangan tiap hari dari mobil ke mobil, dari toko ke toko dari rumah ke rumah merasa nyaman dengan kehidupan tersebut. Populasinya pun kian bertambah. Malas bekerja, malas berusaha dan lebih senang meminta-minta merembet pada kemiskinan dan kebodohan.
Kejadian seperti ini sering menghampiri kita. Di toko, kantor, jalan dan tempat-tempat lainnya.
Gepeng……. Ya istilah itu yang sekarang sering kita dengar. Gembel dan pengemis. Duet maut yang meramaikan keadaan kota. Menunjukan betapa miskinnya negeri yang kaya ini.
Mungkin, sejenak kita bisa melihat lebih khusyuk kepada si penjaja makanan dan pengemis itu. Mana yang lebih terhormat, seorang yang berusaha memenuhi nafkahnya dengan bekerja keras meneteskan keringat atau meminta?
Dan semua itu berorientasi pada satu: Harga diri. Yang membuat kita punya harga diri adalah diri kita sendiri bukan orang lain. Yang membuat bangsa itu punya harga diri adalah bangsa itu sendiri bukan bangsa lain. Bekerja dan berusahalah yang keras jangan sampai merendahkan harga diri kita!
Bekerja memebuat diri kita hidup, bekerja membuat diri kita lebih berarti, bekerja juga adalah ibadah sebagai rasa syukur kita terhadap nikmat yang telah Allah swt berikan terhadap kita. []