Oleh: Suminar Widyawati, suminarwidyawati@yahoo.com
MULANYA saya tidak begitu percaya ketika teman saya bercerita tentang anaknya. Dia mengisahkan bahwa suatu hari ketika menjemput anak laki-lakinya di sekolah, tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang datang. Yang membuatnya kaget adalah ketika anak perempuan itu melabrak anaknya dengan bertanya,”sebenarnya kamu masih cinta sama aku ga sih, koq kamu malah deketan sama si anu (menyebut nama temannya )?”. Teman saya mengaku sangat kaget menyaksikan tingkah anak-anak yang masih duduk di bangku kelas lima SD itu. Begitupun dengan saya, saya pikir mungkin teman saya itu terlalu melebihkan ceritanya. Seperti cerita sinetron saja.
Sampai akhirnya saya mengalami kekagetan yang sama secara langsung. Sore itu, beberapa anak berkumpul di rumah saya, mengobrol. Sebagian dari mereka sedang menggoda salah seorang anak. Ternyata anak itu diminta “ketemuan” oleh teman laki-lakinya di sustu tempat. Teman laki-lakinya itu akan memberi kado ulang tahun sebagai tanda rasa ketertarikannya pada si anak perempuan itu dan ia mau jadi pacarnya. Ketika saya tanya apakah dia akan memenuhi permintaan teman laki-lakinya, anak kelas empat SD itu hanya tersenyum malu. Duh, seperti cerita sinetron saja.
Namun sayangnya cerita anak-anak tadi bukanlah cerita sinetron. Itu adalah kenyataan yang ada di sekitar saya. Sebuah kenyataan yang kemudian membuat saya khawatir. Masih normalkah kehidupan anak-anak di zaman ini?
Sampai saat ini, televisi masih punya daya pikat luar biasa. Bukan hanya untuk anak-anak, juga masyarakat pada umumnya. Di zaman ini setiap orang dari berbagai kalangan hampir bisa dipastikan memiliki televisi. Begitu kuatnya ketertarikan orang pada benda ini. Hal ini dikarenakan televisi adalah hiburan yang bisa dengan mudah dinikmati kapan saja.
Sayangnya ketertarikan masyarakat tidak diimbangi dengan tanggung jawab pihak industri pertelevisian. Karena memang industri adalah bisnis maka harus melihat kecenderungan masyarakat. Ketika masyarakat cenderung menyukai sineron maka lihat saja hampir semua televisi swasta menayangkan acara sinetron. Acaranyapun hampir penuh, dari mulai shubuh sampai tengah malam. Sedangkan acara yang diperuntukan bagi anak-anak sangatlah sedikit, bahkan bisa dihitung dengan jari. Dari yang sedikit itupun hanya beberapa saja yang benar-benar bermutu.
Maka Jika tingkah dan kisah anak-anak diatas mirip lakon sinetron, bisa jadi karena keseharian mereka memang lebih dekat dan banyak diisi dengan sinetron. Sedangkan sinetron pasti menyuguhkan kisah cinta mengharu biru yang menemui banyak rintangan sampai akhirnya ‘happy ending’. Maka wajarlah jika anak-anak kita yang seharusnya bertingkah polos menjadi lebih dewasa dan fasih mengucapkan kata-kata cinta. Bisa jadi merekapun lebih banyak hidup dalam angan-angan.
Kita tak bisa berharap pada industri televisi untuk lebih peduli akan masalah ini. Tindakan cepat dan tepat harus segera kita ambil. Anak-anak pasti mencontoh kebiasaan orang tua, ketika kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton, demikian pula anak. Mulailah dengan membatasi diri dan keluarga untuk menghidupkan televisi. Jikapun hendak menonton, tontonlah acara yang bisa dinikmati dan aman untuk semua.
Menghabiskan waktu untuk bermain bersama anak akan lebih bermanfaat. Dan yang harus kita yakini, manfaatnya bukan hanya untuk hari ini saja, tapi untuk masa depan anak-anak kita. Agar merek tidak menjadi anak-anak yang dibesarkan dan dididik oleh cerita sinetron.
Tentu saja ini adalah kerja keras yang memerlukan usaha sungguh-sungguh. Terutama bagi orang tua yang kadung terbiasa bebas menonton acara televisi. Namun saya berharap tidak lagi menemui anak-anak yang brtingkah bak pemain sinetron walau nampaknya harapan saya itu akan susah terwujud. Karena, seperti di suatu sore yang lain saya menemukan lagi kekagetan berulang yang sama. Ketika itu sekelompok anak-yang saya tahu mereka berusia sekitar delapan than- sedang mengobrol seru, bahkan setengah berdebat. Ketika saya mendakati mereka terdengarlah dialog yang membuat saya terbengong,
‘Iiih sebel deh aku sama si Aryo!’
‘Memangnya kenapa?’
‘Bukannya pengecut, dia kan takut sama romo.’
‘Ya ga bisa gitu lah, kalau dia cinta sama inayah ya temui aja lagi!’
???? Duh! []