Oleh: Hamidah, Bogor.
ADA satu hal yang mengganjal hati saya seputar beberapa teman saya sesama akhwat. Mereka begitu biasa memanfaatkan ojek motor. Memang, lokasi tempat saya tinggal, tidak ada alat transportasi lain kecuali ojek. Sebenarnya ada angkot, tapi tidak masuk gang. Bagi saya, jalan melewati gang tidak begitu jauh. Tapi beberapa akhwat teman saya jadi terbiasa membonceng ojek.
Pertanyaan saya, bagaimana dengan citra dakwah kalau masyarakat melihat akhwat begitu ringan berbonceng motor dengan yang bukan mahram. Dan kedua, bagaimana hukum fikih menjawab masalah itu. Terus terang, saya risih melihat pemandangan itu.
Masalah yang saya kemukakan, secara umum terkait dengan masalah fikih. Namun demikian, seperti telah saya sebutkan, memang ada keterkaitan atau dampaknya bagi dakwah. Oleh karena itu, mungkin kita harus berusaha membahasnya dari dua pendekatan, yaitu:
- Pendekatan fiqih, dan
- Pendekatan dakwah.
Secara fiqih, masalah inipun harus dipandang dari dua sisi:
- Hukum asal masalah mengojek bagi kaum wanita.
- Hukum dharurat atau hajat masalah mengojek bagi kaum wanita.
Pada asalnya (pokoknya, prinsipnya), masalah mengojek bagi kaum wanita adalah tidak boleh. Dasarnya adalah terjadinya khulwat (berduaan) dan ikhthilath (berbaur dan berdekatan dengan sangat dekat sekali) antara wanita dan laki-laki lain yang bukan muhrim. Bahwa dalam ojek terjadi khulwat atau berduaan saja, sangatlah jelas, karena dalam ojek memang demikian, satu penumpang satu motor, berarti hanya berdua antara penumpang dan pengendara. Apalagi apa bila jalan atau perjalanan dalam keadaan sepi. Dan terlebih lagi bila hal ini terjadi di malam hari.
Bahwa dalam ojek terjadi ikhthilath juga sangat jelas, atau paling tidak, hubungan antara penumpang dan pengendara (tukang ojek) menjadi dekat. Terutama bila jalan yang dilalui rusak, sehingga si tukang ojek terpaksa atau sengaja mengerem kendaraannya secara mendadak.
Dan saya yakin kita semua telah mengetahui dalil yang melarang kita untuk berbuat khulwat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir, maka janganlah berduaan dengan seorang wanita yang di antara keduanya tidak ada hubungan mahram, sebab yang menjadi orang ketiga bagi keduanya adalah setan,” (HR. Ahmad).
Hukum seperti ini tetap berlaku kapan dan di mana pun berada, dan tidak ada pengecualian, kecuali bila darurat atau ada hajat. Darurat adalah satu kondisi di mana seseorang dihadapkan pada satu pilihan yang jika tidak dia penuhi pilihan itu, maka yang terjadi adalah al-halâk (kebinasaan, kematian, kehancuran), baik al-halâk itu terkait dengan al-dîn (agama), al-nafs (jiwa), al-`aql (akal), al-nasab (nasab) dan al-mâl (harta) seseorang. Sebagian ulama` menambahkan satu hal lagi, yaitu al-`irdh (harga diri dan kehormatan).
Dan dalam pandangan saya, dalam kasus ojek mengojek ini masalahnya belumlah sampai ke tingkat darurat, wallahu a`lam. []
Sumber: Majalah Saksi/Jakarta
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.