Oleh: Raidah Athirah
Penulis, Tinggal di Polandia
“Satu cara terpenting dalam membantu anak-anak tumbuh dewasa adalah: kita harus tumbuh dewasa terlebih dahulu,” (Anonymous).
SUDAH sering kita mendengar bahwa menjadi tua adalah pasti sedangkan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Betapa banyak orang dewasa yang bersifat kekanak-kanakan. Sebaliknya, sebagian anak-anak di dunia bersikap lebih dewasa daripada umurnya. Belajar tak pernah mengenal kata terlambat. Begitulah karakter orang-orang besar.
Tidak selamanya orang tua yang mengajari anak-anak tentang dunia. Sebagian besar anak-anak justru menjadi guru, pintu keajaiban, jalan penerang bagi kita memahami pengetahuan dan kebijaksanaan dalam hidup hari ini.
Setiap orang tua memiliki harapan dan keinginan untuk anak-anak mereka. Begitupun kami. Meskipun demikian, tak jarang keinginan itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Allah, Tuhan Yang Maha Rahim, menitipkan karunia yang luar biasa, dengan jalanNya agar kami memahami bahwa sesuatu yang tidak sesuai harapan bisa menjadi rahmat yang luar biasa yang hari ini telah kami dekap dari sudut pandang hati yang berbeda.
Seperti halnya putri kami.
Ia adalah guru tanpa kata-kata. Ia mengajari kami makna ketulusan. Ia ingin kami paham bahwa tindakan kecil apapun yang kami lakukan tanpa ketulusan tak bisa ia terima.
Seperti umumnya sebuah keluarga, kadang kala hadir kerikil kecil dalam memahami sikap satu sama lain. Kerikil-kerikil itu tidak lebih dari cara pandang pengasuhan. Alih-alih berdiskusi, aku dan suami terjebak dalam pertengkaran. Setelah berdiskusi kami sepakat dalam beberapa hal, tapi sebagaimana sifat seorang perempuan hal-hal kecil masih terbawa rasa.
Aku duduk di dapur menenangkan diri sedangkan suamiku menyandarkan bahunya di sofa. Putri kecilku menghampiri, memelukku dan mengambil tanganku mengisyaratkan ia ingin sesuatu dariku. Aku berjalan mengikuti langkahnya dengan hati masih diliputi kekesalan.
Ia menghentikan langkah mungilnya tepat di hadapan ayahnya, mengulurkan tanganku dan mengambil tangan suamiku untuk disatukan dengan tanganku sebagai tanda kami benar-benar telah berdamai dari pertengkaran itu. Belum selesai sampai di situ, ia menuntun kami menuju kaca lemari pakaian yang besarnya setinggi ayahnya.
Lagi, seperti seorang pendamai, ia mengaturku dan ayahnya untuk berdiri tegap memandang kaca. Dan seketika tawa itu lahir dari memandang wajah kami yang jelek karena ditutupi kemarahan. Damai seharusnya benar-benar tulus agar senyum itu terasa dalam tindakan.
Setelah tawa hadir ia melangkah ke tengah-tengah kami. Bola mata hazelnya memandang kami satu persatu seperti ia ingin mengatakan, “Bukankah pertengkaran itu harus ditandai dengan ketulusan untuk saling memaafkan?”
***
Kami percaya bahwa membangun peradaban berawal dari kehidupan keluarga. Ada hukum saling memengaruhi. Dan anak-anak biasanya mempelajari dari rumah peradaban. Ya, dari cara ia melihat bagaimana pertengkaran bisa berakhir damai hanya dengan ketulusan memaafkan.
Bila biasanya anak-anak mempelajari karakter ini dari orang tua mereka, maka kami adalah orang tua yang istimewa karena kami mempelajari karakter kehidupan ini dari putri kecil kami yang luar biasa. Ia laksana guru kehidupan.
Kami ingin ia tahu bahwa dunia seringkali berisi peristiwa pertengkaran seperti halnya yang ia lihat, rasakan dan solusi damai yang ia tunjukkan dengan caranya. Akan tetapi, kami berdoa dan berharap ia tetap tumbuh sebagai guru kehidupan yang mengulurkan perdamaian kepada manusia ketika pertengkaran itu ia temui kembali di masa yang akan datang.
Kami memandang anak-anak sebagai tamu kehidupan. Mereka memandang dunia dengan pengalaman masa kecilnya. Dan putri kecil kami adalah tamu kebijaksanaan yang Allah, Tuhan Yang Maha Rahman titipkan dalam perjalanan kami mengenal cinta yang luar biasa. This is extreme love_autism that we learn to aware, accept and respect from love she has shown.
Kami berharap rangkaian kata-kata ini berbicara bahwa anak-anak adalah guru kehidupan yang harus dipeluk dan disayang apapun keistimewaan yang melekat pada mereka. Ketulusan hati dalam memeluk anak-anak kita apapun keistimewaan yang Tuhan Maha Penyanyang telah titipkan sebagai karunia ,entah hari ini ,esok atau kapanpun kita harus percaya bahwa mereka akan bersemi menjadi pribadi-pribadi besar di masa depan.
Anak-anak adalah guru kehidupan. Mereka mengajarkan kepada hati untuk memandang sebuah peristiwa dengan ketulusan.
Bahwasanya, ketulusan itu bukan hanya sekadar kata-kata tapi hampa dalam hati. Ketulusan adalah salah satu pintu kebajikan melihat damai dari peristiwa dunia. Ini adalah sikap kedewasaan. Bukankah citra dunia berawal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam rumah peradaban? []
Polandia, 7 Juli 2017
Menulis adalah membuka hati mempelajari kebaikan
We are Autism’s Parents
We aware, accept and respect.