EMPAT orang laki-laki mengitari seorang ustadz dalam sebuah diskusi pekanan. Kebetulan, acara diskusi itu dilaksanakan di kediaman sang ustadz di pagi hari.
Sebelum diskusi dimulai, ustadz menjamu mereka dengan minum kopi dahulu. Tapi yang menarik, cangkir yang diberikan kepada empat orang laki-laki itu masing-masing berbeda.
Empat orang lelaki saling memandangi cangkir kopi mereka dan juga punya teman mereka. Kok beda, begitu mereka berujar dalam hati.
Tak ada yang berbicara. Mereka semua minum kopi, sambil mata masing-masing melihat cangkir kopi temannya. Rupanya ustadz menyadari itu.
Ustadz berujar: “Kalian semua saling memandangi cangkir kopi satu sama lain dan bisa jadi di hati kalian ada yang berkata, ‘Wah, cangkir punya si A lebih bagus daripada punyaku.’ Betul begitu?”
Empat lelaki nyengir.
“Kalian mungkin bertanya-tanya mengapa saya memberikan cangkir yang berbeda, sebenarnya saya sengaja itu.
“Kalian tahu, cangkir-cangkir itu mewakili kehidupan itu sendiri. Kehidupan seperti kopi itu, dan cangkir-cangkir itu seperti keadaan fisik kehidupan kalian. Kalian semua mendapatkan hal yang sama dalam cangkir masing-masing: kopi. Namun sepertinya kalian tidak dapat benar-benar menikmatinya karena perhatian kalian terhadap cangkir orang lain. Ini sama dengan kehidupan.
“Kita sering lupa untuk menikmati hidup kita sendiri ketika kita lebih fokus pada keadaan orang lain. Coba sekarang, tutup mata kalian, dan cicipi kopi kalian sendiri. Benar-benar rasakan kopi itu. Dan katakan kepada saya, apakah penting dari cangkir mana asalnya kopi yang kalian teguk itu?”
Empat lelaki tersenyum. Berterima kasih kepada ustadz atas pelajaran besar yang diberikan. []