DALAM Islam, hubungan intim atau jima bernilai ibadah untuk pasangan suami istri yang sah. Seorang suami diharuskan memperhatikan berbagai hal, yaitu salah satunya tidak hanya mementingkan kepuasan pada dirinya sendiri, tetapi dia juga harus berupaya memberikan kepuasan kepada istrinya.
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli isterinya sebagaimana hewan menggauli sesamanya. Hendaklah ia mengadakan pemanasan (perantara) terlebih dahulu dengan jalan ciuman dan kata-kata mesra,” (HR. Turmudzi).
Dalam hadist di atas, jelaslah Rasul menyuruh agar hubungan ini dilakukan dua arah, tidak hanya salah satu pihak saja. Maka diperlukan faktor yang paling utama untuk mencapai kepuasan hubungan antara suami dan istri. Di antaranya terdiri dari:
1. Cumbu rayu
2. Ketenangan pikiran
3. Kenyamanan suasana
4. Dan aneka variasi saat melakukanya.
Bila ditinjau lebih lanjut, maka dalam Islam, variasi dari aneka posisi dalam berhubungan tidaklah dilarang.
Allah Ta’ala berfirman: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki,” (QS. Al-Baqarah: 223).
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam menerangkan ayat tersebut: “Dari depan atau dari belakang (boleh) asalkan tetap di farji (vagina),” (HR. Bukhari dan Muslim). []