AKTIVITAS sehari-hari tak jarang membuat seseorang sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan ibadah untuk akhirat. Misalnya saja ibu rumah tangga yang punya rutinitas harian mulai dari melayani suami, mengasuh anak-anak, mengurus rumah dengan segala kebutuhannya. Begitupun seseorang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang tak jarang berangkat pagi pulang malam. Dengan kesibukan yang ada, tak terasa hari terus bergulir, jam demi jam terlewati, malam pun kembali menjelang dan tak terasa hari pun berganti. Demikian seterusnya.
Namun disayangkan, di tengah aktivitas ini –yang sebenarnya bernilai ibadah bila dilakukan ikhlas karena Allah dan berharap pahala dari-Nya– terkadang didapatkan adanya sikap tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah kepada Allah seperti shalat lima waktu. Sehingga dengan alasan sibuk bersama si kecil atau karena bekerja, ibadah shalat sering ditunda penunaiannya sampai hampir keluar dari waktunya. Shalat tak lagi dirasakan kelezatannya, padahal ibadah kepada Allah SWT itu memiliki kelezatan bagi orang yang dapat menikmatinya.
BACA JUGA: Begadang Bisa Pengaruhi Kualitas Ibadah
Termasuk anugerah terbesar yang Allah berikan kepada seorang hamba adalah si hamba dapat merasakan lezatnya ibadah dengan ketenangan jiwa, kebahagiaan hati, kelapangan dada dan ketentraman yang ia peroleh ketika melaksanakan ibadah dan sesudah menunaikan ibadah.
Kelezatan ini berbeda-beda tingkatannya pada setiap individu sesuai dengan kuat atau lemahnya iman. Kelezatan ini dapat diperoleh bila ditempuh sebab-sebabnya dan dapat hilang bila hilang pula sebabnya.
Rasulullah SAW bersabda:
((وَ جُعِلََ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِِِ))
“Dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (HR. An-Nasai, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/82)
Beliau memberikan pernyataan seperti ini karena beliau mendapatkan kelezatan dan kebahagiaan hati ketika mengerjakan shalat. Panjangnya shalat malam beliau merupakan satu bukti tentang kelezatan yang beliau peroleh tatkala bermunajat kepada Rabb-nya.
Menjelang wafat, Mu’adz bin Jabal ra menangis. Namun ia bukan menangisi ajal yang akan menjemputnya, melainkan:
إِنَّمَا أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَ قِيَامِ لَيْلِ الشِّتَاءِ وَ مُزَاحَمَةِ الْعُلَمَاءِ بِالرُّكَبِ عِنْدَ خَلْقِ الذِّكْرِ
“Aku menangis hanyalah karena aku tidak akan merasakan lagi rasa dahaga (orang yang berpuasa) ketika hari sangat panas, bangun malam untuk melaksanakan shalat di musim yang dingin dan berdekatan dengan orang-orang yang berilmu saat bersimpuh di halaqah dzikir.”
Ada beberapa sebab untuk mendapatkan lezatnya beribadah kepada Allah SWT, di antaranya:
Dan tentunya hal ini membutuhkan kesabaran dengan terus memaksa jiwa berjalan di atas ketaatan. Awalnya memang sulit, namun seperti kata seorang penyair Arab:
لَأَسْتَسْهِلَنَّ الصَّعْبَ أَوْ أُدْرِكَ الْمنَى
فَمَا انْقَادَتِ الآمَلُ إِلاَّ لِصَابِر
“Sungguh-sungguh aku akan menganggap mudah kesulitan itu hingga diperoleh apa yang kuinginkan dan kuharapkan Tak kan tunduk harapan itu kecuali kepada orang yang sabar.”
Terhalang dari lezatnya ibadah
Di antara satu tanda yang jelas dari sekian tanda terhalangnya seseorang dari nikmatnya ibadah adalah ia merasa berat untuk melaksanakan ibadah seperti shalat, sehingga kalaupun ia shalat maka ia bangkit dalam keadaan malas seakan-akan ia digiring kepada kematian sementara ia melihat kematian itu di depan matanya.
Kita lihat ketika shalat ia seperti ayam yang mematuk-matuk makanannya, begitu cepat selesainya. Seandainya orang ini merasakan lezatnya shalat niscaya ia akan bersegera mengerjakannya. Ia akan memperbaiki shalatnya dan seselesainya shalat, ia sibukkan dirinya dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikir.
Namun memang hati yang terpaut dengan dunia merasa berat dan sulit untuk melakukannya. Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala keselamatan dan ampunan sebagaimana kita berharap taufiq dan hidayah-Nya. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab. []
SUMBER: QURANDANSUNNAH