SEKALI waktu seorang ulama yang terkenal sangat disiplin tentang waktu, terlambat menghadiri pengajian. Para jamaah pun bertanya-tanya ada apa gerangan dengan ulama tersebut. Ada yang menyangka bahwa sang ulama sakit, ada pula yang menyangka terjadi kecelakaan kepada beliau karena bus yang biasa ditumpangi beliau mengalami kecelakaan.
Tak lama berselang sang ulama muncul. Kelihatan beliau berjalan dengan cepat lalu duduk di majelisnya. Lantas sang ulama pun meminta maaf kepada jamaah atas keterlambatannya.
Salah seorang jemaah bertanya: “Mohon maaf guru, apa hal yang menyebabkan keterlambatan tuan guru sampai di majelis ini, padahal tuan guru selalu datang tepat waktu?”
Sang ulama menjawab: “Subhanallah, tiada daya dan upaya kecuali atas izin Allah. Tadi pagi ketika saya bersiap berangkat untuk menghadiri majelis, anak saya menangis manja dan meminta untuk digendong. Meskipun saya tahu saya akan terlambat naik bus yang biasa saya tumpangi namun saya memilih untuk menggendongnya dengan penuh kasih sayang, menenangkannya hingga ia mau melepaskan dirinya dari gendonganku.
“Karena saya memahami bahwa ayat ‘Quu anfusakum wa ahlikum naara’ juga mencakup penjagaan pendidikan karakternya, dan salah satu karakter yang harus ada pada diri setiap muslim adalah kasih sayang. Sehingga memang saya tertinggal bus yang biasa saya tumpangi setiap kali berangkat ke majelis ini.”
Jamaah pun menjawab: “Alhamdulillah, kami telah menyangka tuan guru mengalami kecelakaan dengan bus yang biasa tuan guru tumpangi.”
Sang ulama menjawab: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan saya dari kecelakaan tersebut karena saya berusaha menyelamatkan karakter anakku. Seandainya saya mengacuhkan tangisan anak saya, niscaya saya pun ikut mengalami kecelakaan yang menimpa bus tersebut. Sungguh Allah Maha Bijaksana dan penuh hikmah dalam memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang mau berpikir.” []